Kamis, 24 Januari 2013

Banjir Dulu, Banjir Kini, Banjir Nanti

Ibu kota kebanjiran. Perlahan Jakarta mulai terapung. Kepanikan beranjak mendekat dan mengikat hati yang makin was-was. Trauma banjir Jakarta 6 tahun lalu masih membayang. Hujan yang turun beberapa hari terakhir menjadi awal sebuah kenyataan akan datangnya bencana alam.

 Minggu lalu adalah waktu dengan beragam perasaan melihat begitu parahnya akibat yang ditimbulkan bencana banjir. Saya sempat terpaku sejenak melihat air sudah menutupi jalan masuk ke Sekolah Springfield Permata Buana 2 pagi hari Rabu, 16 Januari 2013. Hujan yang berhenti sejak malam sebelumnya dan pagi hari yang cerah meniadakan prasangka akan genangan air yang begitu tinggi bagi pengendara motor seperti saya. Dengan tekad untuk bertemu Nathan dan murid-murid kesayangan saya yang lain, saya membulatkan tekad mengarungi genangan air itu. Jika banyak orang yang berhasil ke tujuan setelah melalui banjir yang sebenarnya, saya juga bisa tiba di parkiran Springfield PB2 dengan selamat. Tapi tentu saja saya harus mengorbankan sepatu dan celana panjang saya untuk bertemu dengan pekatnya air. Hari itu saya merasakan dinginnya udara kelas dengan bersendal jepit.

Air yang tidak kunjung surut dilain pihak menyurutkan harapan kami untuk tetap optimis. Jumlah murid yang minim dan hujan yang tidak kunjung reda mendorong dibuatnya suatu keputuskan. Hari itu murid-murid dipulangkan lebih awal. Teriakan keceriaan dari jiwa-jiwa polos yang belum bisa melihat efek terparah dari banjir Jakarta membuat saya tersenyum getir. Saya percaya di banyak sudut di Jakarta, banyak orang yang mulai menangis melihat tingginya air yang makin bertambah dan terus bertambah.

Hujan masih juga menghampiri dan menciptakan ketakutan membayangkan kami akan terjebak disatu sudut Jakarta, entah karena banjir itu sendiri atau kemacetan. Lelah sudah mulai terasa karena kepastian tiba di rumah dini hari menjadi jaminan. Pukul 04.00 tepat, kami mengantri di parkiran untuk segera pulang, saat itu saya menyadari bahwa hampir semua kami ada di sana dalam waktu bersamaan. Banjir ternyata menumbuhkan bentuk lain dari kebersamaan. Setelah mengucapkan pesan untuk berhati-hati kami mulai meninggalkan parkiran dan bersegera berjetski atau menjadi nahkoda sebuah 'cruise' dadakan.

Keesokan harinya Kamis, 17 Januari 2013 semua ketakutan akan banjir menjadi kenyataan.

Kabar segera menyebar bahwa air sudah naik membanjiri hampir di seluruh Jakarta. Jika di negara-negara lain kedalaman air banjir diukur dalam centimeter dan meter, di Jakarta kami mengukurnya dengan semata kaki, sebetis, sedengkul, sepaha, sepinggang, dan sedada orang dewasa. Hujan yang turun dari malam sebelumnya dan berkesinambungan dengan intensitas yang sama membuat kami dan murid-murid harus tinggal dirumah. Beberapa dari kami mengungsi atau bertahan dalam rumah dengan cadangan makan minim tanpa air bersih dan listrik. Banjir Jakarta menjadi mimpi buruk dalam realita bagi hampir semua masyarakat untuk beberapa hari kedepan. Status Jakarta siaga dan akhirnya darurat segera dikumandangkan dan mengawali sebuah proses kemanusiaan untuk menyelamatkan korban-korban banjir di daerah-daerah terparah.

Miris perasaan saya ketika melihat korban jiwa mulai jatuh. Catatan kelam banjir Jakarta sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda, semasa Jakarta masih disebut Batavia. Sepanjang sejarah banjir Jakarta terdapat catatan bahwa daerah kota tua tidak mengalami banjir yang terlalu parah. Setidaknya itu membuktikan bahwa drainase yang dibuat Belanda lebih baik. Banjir Jakarta disatu sisi dianggap sebagai hal yang biasa. Namun mengingat kerusakan yang diakibatkan banjir dan korban jiwa yang ditimbulkan, pemerintah beserta masyarakat Jakarta harus benar-benar menyingsingkan lengan untuk berbenah.

Akibat banjir Jakarta sepertinya tidak terlalu dirasakan sebagian besar murid-murid saya. Air tidak masuk ke dalam rumah dan jika masukpun kerugian materi masih dapat teratasi. Keluhan yang muncul justru karena kebosanan karena tidak bisa menggunakan peralatan eketronik atau pergi ke tempat yang disukai karena putusnya akses menuju pusat-pusat ekonomi. Kami patut bersyukur atas diluputkan dari bahaya banjir tanpa mengurangi rasa empati dan belasungkawa pada masyarakat yang menjadi korban.

Saya mengingatkan murid-murid saya untuk membuat sebuah komitmen yang nyata.Tindakan yang berpengaruh pada masa depan harus segera diambil. Mungkin akan sulit bagi saya untuk membuat anak-anak murid saya memahami pedihnya rasa kehilangan orang yang dikasihi dan juga tempat tinggal satu-satunya saat kehangatan rumah dan keluarga masih bisa mereka rasakan saat banjir melanda. Mungkin akan sulit bagi saya membuat mereka mengerti betapa banjir bahkan bisa mengubah kehidupan seseorang. Yang bisa saya lakukan adalah memperkenalkan mereka pada kesadaran menjaga lingkungan. Sampah yang awalnya adalah hal sepele harus diperlakukan sebaik-baiknya untuk tidak menjadi limbah yang memperparah kerusakan alam. Alam ini adalah pinjaman dari generasi mendatang. Dunia akan semakin buruk di masa-masa yang akan datang karena manusia lalai menjadi bijak dan tidak memahami bagaimana alam bekerja. Catatan kelam banjir Jakarta harus menjadi pijakan untuk satu perubahan. Jika tahun ini kita masih bisa bersyukur diluputkan dari banjir, siapa yang bisa menjamin hal yang sama akan terjadi di tahun-tahun ke depan. Jika tahun ini kita belum memberikan banyak kontribusi dalam membantu para korban banjir, biarlah diwaktu yang akan datang kita yang akan bergerak menciptakan kesempatan itu.

Saat Miss Anita berdoa memulai Assembly kami Jumat, 25 Januari 2013, saya yakin jiwa-jiwa muda yang menjadi murid-murid Springfield akan dimampukan menjadi agen perubahan di masa mereka kelak. Hari ini harusnya menjadi momen untuk berbuat lebih banyak bagi Jakarta yang lebih baik, bagi kehidupan yang lebih bermanfaat bagi sesama.

Jakarta, Jumat 25 Januari 2013

Rabu, 12 Oktober 2011

To All Great Women On Earth

Teringatlah saya pada percakapan sederhana saat kami akan pergi ke rumah sakit. Putra ketiga kami panas tinggi. Wanita muda berseragam batik biru menganjurkan kami untuk mengecek semua barang dan memastikan rumah dalam keadaan aman  selagi kami pergi. Ia juga menyarankan kami menelpon rumah sakit untuk reservasi sehingga saat kami tiba pelayanan kesehatan sudah siap. Ketika melihat dua putera saya yang lain ia juga menanyakan apakah mereka merasa nyaman dan memberikan 2 pensil batik sebagai souvenir dengan pesan supaya rajin belajar. Kagetkah anda jika mengetahui wanita muda itu hanyalah seorang supir taksi tidak terkenal yang kebetulan lewat di Jalan Raya Kembangan Jakarta Barat pada suatu hari pertengahan tahun ini. Ia melayani dengan prima.

Teringatlah saya di suatu hari Minggu ketika seorang anak belia  mendekati saya menawarkan alat bantu belajar berhitung untuk anak pra-sekolah dan sebuah buku catatan kecil produksi anak-anak tuna rungu. Saya terbiasa menghadapi beragam cara anak-anak sekolah berbicara namun putri kecil itu bertutur dengan bahasa yang berbeda. Jauh melampaui usianya. Dia membuka percakapan dengan menanyakan berapa umur putera saya. Menjelaskan bahwa alat bantu belajar yang dijualnya pasti sesuai dengan kebutuhan putera saya. Ia melanjutkan dengan menjelaskan cara menggunaannya mengatakan saya bukan hanya memenuhi kebutuhan putera saya namun juga membantu anak-anak tuna rungu mendapatkan penghasilan. Ia marketer handal termuda yang saya tahu. Putri kecil itu berumur 8 tahun, seorang homeschooler. Ia melayani dengan kesungguhan.

Teringatlah saya pada sudut kumuh di pinggir kali pesanggarahan dekat Pasar Kemiri. Seorang wanita paruh baya mengais sampah. Selagi macet karena jalan yang terlalu kecil untuk hilir mudik kendaraan seperti sekarang, saya memiliki kesempatan untuk memperhatikan cara kerjanya. Ia memiliki ‘sense of closure’. Ia membersihkan semua sampah dengan cermat tanpa meninggalkan sisa; memisahkan sampah kering dan basah; antara organik dan non organik. Saya tahu dengan segera bahwa aliran keruh kali yang bercengkrama di bawah kami akan berterima kasih. Ibu  tukang sampah itu bukan orang biasa. Ia wanita hebat dengan integritas tinggi. Ia melayani dengan tujuan.

Teringatlah saya akan perempuan renta yang seluruh hidupnya bernama pengabdian. Ia dibesarkan oleh adat Jawa yang mengharuskannya berada di samping suami no matter what. Suaminya lak-laki keras kepala egois yang tetap menuntutnya untuk setia. Meski banyak waktu dihabiskan dengan air mata, ia bertutur bahwa bahagia baginya adalah melihat suami dan anak-anaknya berada di jalan Tuhan. Ia wanita paling hebat yang pernah saya tahu. Ia adalah ibu saya. Ia melayani dengan cinta.

Pelayanan adalah tingkatan paling luhung dari sikap dan sifat seorang pemimpin. Melayani adalah tindakan paling arif dari manusia yang mulia. Wanita bijaksana adalah wanita yang berani melepaskan atribut lainnya dan mengulurkan tangannya untuk melayani kehidupan.

Selamat Hari Ibu…

Yohanes 12 : 3 “Maka Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bau minyak semerbak di seluruh rumah itu.”

Jakarta, 22 Desember 2010

Rabu, 07 September 2011

Ayah Saya (Masih) Hidup

Ayah saya sudah mati. Saya mengingat 17 Maret 2011 saat saya memandang tak berkedip luruhan tanah merah yang menimpa peti dimana ayah saya dibaringkan. Suara itu seperti palu yang dihantamkan di kepala saya. Saya mengaktifkan - mute mode- dalam otak dan mengirimkan pesan ke seluruh nadi untuk tidak merespon kenyataan ini sebagai satu peristiwa. Saya menjadi mutan oleh rasa sakit yang keterlaluan. Di bawah sana berbaring seorang laki-laki keras kepala, yang menghabiskan hidupnya untuk satu hal yang disebutnya romantika berbalut kebenaran absolut yang hanya berlaku bagi dia dan dunianya.

Ayah saya sudah mati. Tapi kehidupannya menghidupkan kemampuan saya untuk mencintai. Mencintai setiap tetes darah yang mengalir menjadi bagian inspirasi. Mencintai setiap wejangan yang sempat membosankan namun kemudian menjadi ide. Mencintai setiap kemunafikan yang bertransformasi menjadi bentuk pertahanan diri. Mencintai tutur kata yang akhirnya saya sadari adalah wujud dari pencariannya yang tidak selesai terhadap hakekat kehidupan. Mencintai sikap diam dan memberikan saya waktu tersendiri untuk berpikir atas kesalahan-kesalahan yang saya buat, mulai dari mengunting koran baru yang belum dibaca, menghilangkan tas kamera, mengeluarkan mobil baru belum lunas dari garasi, memberontak terhadap pilihan-pilihan terbaiknya, menyalahartikan pemahamannya akan belas kasih menjadi sebentuk benci yang tidak dimengerti, dan mempersalahkannya kekakuan yang dia ciptakan untuk melindungi kami dari rasa sakit karena kekhilafannya di masa lalu.Mencintai roh dan jiwanya yang ada dalam aliran darah saya.

Ayah saya sudah mati. Banyak yang mengutuk hari-hari dimana dia hidup mengurung diri seraya mencemooh cara orang lain menjalani hal yang dipercayai. Seperti dua alter yang berebutan menjadi dominan, dia terlihat bagai malaikat dan kenistaan dengan hunusan pedang di saat bersamaan. Dia menuliskan bahwa hari-harinya adalah jahat. Hari-hari kelabu dan abu-abu yang dihabiskannya di antara pohon-pohon karet dan suara aliran sungai di kejauhan. Hari-hari yang kemudian di sebutnya sebagai berkat, karena memperkenalkannya pada kesendirian. Rasa sepi yang mampu menjawab detil tanya saat pergantian hari datang. Membuatnya menciptakan risalah bahwa meski itu adalah sisa-sisa waktu di hidupnya, itu bukanlah akhir dari episode. Di pondok di sudut Karang Endah, dengan dengungan nyamuk dan sumur yang tersamar, ayah saya membunuh semua jumawa dan pangkat. Ia menulis, "...aku terlalu lemah...doaku tak bersuara lagi...". Saya mengira, mulai saat itu ia berbicara dengan hati. Berbicara kepada Tuhannya, juga kepada Tuhan mereka; dan mengakui keesaan Sang Pemberi hidup itu. Lalu terkenanglah saya pada ceritanya berkelana masuk pura, wihara, masjid, dan gereja untuk berlabuh pada cinta universal -cinta yang diajarkannya pada saya; meski tak banyak yang sempat melihatnya. Saya merenovasi ingatan untuk melahirkan satu konsep dalam berdoa, sebentuk doa yang selalu dimulainya dengan, "Maha besar Allah Bapa yang bertahta dalam kerajaan surga..."

Ayah saya sudah mati. Berakhir sudah napas tilas menyusuri pepohonan wangi anggrek hutan, berjalan di bawah pohon kupang berbiji merah saga, berbicara semalaman tentang kebun jeruk, bangun pagi-pagi buta untuk menyantap bubur ayam, atau duduk menghabiskan mie pangsit, martabak har, dan pempek serta kerupuk beraroma khas, atau memandang cakrawala di batas aliran sungai Musi mengenang masa kecil kami, dan pulas dalam dekapannya saat tubuh kecil kami tertidur di depan tivi yang menyala, setelah dunia dalam berita. Berakhir sudah kisah tentang pungguk yang merindukan bulan sebagai dongeng penghantar tidur. Berakhir juga impiannya mengendong surya di horizon saat perjalanan tidak bertujuan yang membawa kami untuk sekedar menikmati aspal hitam pekat di jalan-jalan berpagar kelapa sawit dan anak-anak sungai dengan latar belakang gunung di kejauhan, -dengan kicauan burung gereja dan buruk pelatuk. Jika hidup adalah petualangan, ayah saya menjadi buku petunjuk yang sangat mengasikkan. Benak saya masih mencatat petualangan kami berburu anggur hutan, buah semak karamunting, dan nanas 'tak bertuan di jalur berdebu jalan Nigata. Dan akhirnya menyisakan keharuan yang mendalam mengingat sekantung buah para untuk 'pedekan' dan pengalaman 'nakok' dari sadapan getah karet yang bau. Debu-debu yang naik membumbung di belakang mobil Datsun tua coklat susu itu menyuarakan tawa masa kecil kami dan naik ke udara untuk memeluk indah saat-saat ayah pulang membawa coklat silverqueen bertumpuk dua sambil bercerita tentang bunga sutra bombay yang menyala terang di halaman Jalan Pramuka.

Ayah saya sudah mati. Sekuat apapun keinginan saya melihatnya hidup, dia sudah mati. Rasa sakit itu masih tetap keterlaluan mencabik-cabik jiwa saya. Saya tetap ingin menjadi mutan dan berdiam. Saya sudah tidak bertanya lagi dan tidak merencanakan kebodohan membodohkan jiwa. Saya tahu tentang menunggu. Penantian yang harus saya lakoni diantara masa yang terus membiru. Waktu tanpa batas yang tidak saya kehendaki untuk segera terjadi. Waktu menunggu tulang-tulang putih itu bersatu lagi untuk bangkit bertemu dengan jiwa. Tugas belum paripurna. Karya saya belum tercipta. Cinta saya belum utuh. Pengabdian saya baru dimulai. Rencana saya nyaris tersusun. Langkah saya masih setengah menggantung. Keinginan saya sementara hanya wacana. Rindu saya belum terpuaskan. Jalan saya dirasa masih panjang. Visi saya masih buram. Target saya belum tercapai. Dan saya masih tertidur dalam keengganan. Hanya ayah saya yang mampu menghardik saya dengan kecaman dan pecutan bernama cinta. Untuk itu ayah saya (masih) harus hidup...


Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Filipi 1:21

Jakarta, 8 September 2011 -- menjelang ulang tahun kekasih ayah saya, Ibu Sumarhami

Kamis, 18 Februari 2010

Berseri-seri Karena Seri

Adalah Serijati Suryanto yang tiba-tiba muncul di benak saya. Ketika waktu-waktu ini menjadi berat karena resah akan ayah yang terbaring lemah akibat serangan stroke dan ingatan buruk tentang kecelakan yang baru menimpa saat anak ketiga saya hampir hadir dalam hitungan waktu 2 minggu kedepan. Dia wanita sederhana saja. Namanyapun menyiratkan seorang perempuan biasa yang nyaris tanpa kejutan. Tuturnya berkali bahwa namanya lekat dengan impresi seorang perempuan kampung yang mungkin berkerudung dan datang dari daerah pesisir Jawa dengan harapan tinggi akan ibukota. Persis seperti tema cerita film Indonesia era 70-an. Tapi sontak impresi itu hilang saat ia datang dengan kerutan di dahinya. Ia wanita Indonesia keturunan Tionghoa bermuka sangat oriental, berdialek Betawi, memiliki aksen Inggris yang khas dan lebih pandai berbahasa Jerman dibandingkan Bahasa Indonesia dengan struktur EYD yang layak diterima di dunia edukasi.

Adalah Serijati Suryanto yang tiba-tiba muncul di benak saya ketika hari-hari menjadi sejarah saya dalam sekolah di bilangan Villa Meruya. Mungkin karena reputasinya mengalahkan imej yang ia ingin berikan kepada semua orang. Entah kenapa saya seperti menemukan benang merah keberadaan saya di tempat yang baru saat berbicara dengannya. Saya seperti memiliki kewajiban untuk mengenalnya, menjadi bagian hidupnya dan mengasihinya seperti seorang sahabat karib dan saudari dalam Tuhan.

Adalah Serijati Suryanto yang tiba-tiba muncul di benak saya ketika saya belajar sesuatu tentang kerendahan hati dan pengampunan. Kami mengenalnya sebagai pribadi yang keras, -kata yang sedikit lebih lunak dibandingkan istilah ‘galak’. Saya tidak ingin menghakiminya tetapi pemahaman saya akan jalan hidupnya membuat saya seperti menemukan potret akan Seri kecil dan remaja. Kemandiriannya tertanam lebih dini dibanding kami semua membuat Seri bermetamorfosis menjadi seseorang yang independen dengan pencarian manual terhadap jati diri dan hakikat hidupnya. Disatu sisi saya merasa dia mengalami saat-saat berat menjadi yatim dan piatu saat proses pencarian akan pengenalan hidup masih dalam sangat awal, namun di sisi yang lain dengan dimensi yang lebih luas keadaan itu mentransformasi semua ketakutannya menjadi keteguhan hati dan keinginan untuk bertahan meskipun jiwanya kadang luluh lantak oleh kekecewaan. Dalam galau yang mungkin tidak sengaja diciptakan, ia memberikan tangannya untuk kesalahan atau kesalahkaprahan yang terjadi dan melupakan begitu saja dalam selaksa waktu yang sedemikan singkat tentang sakit hati. Lebih jauh lagi dalam patriotnya dia memberikan hatinya untuk kesempatan bagi setiap hal yang bergerak menuju perubahan.

Adalah Serijati Suryanto yang tiba-tiba muncul di benak saya ketika saya teringat tentang warna indah pelangi persahabatan. Dia dengan ringan memberikan waktu bagi setiap tanda kasih bagi sahabat ketika saya sibuk mencuri waktu kerja untuk kepentingan pribadi. Tanpa pamrih dan embel-embel balas jasa ia mencoba memberikan perhatian bagi keluh kesah dan juga ketidakpuasan yang kadang tercipta saat ketidakadilan menjadi bagian hidup yang tidak bisa saya tolak.


Adalah Serijati Suryanto yang tiba-tiba muncul dibenak saja untuk menjadi parameter sikap bertahan dalam kawah candradimuka yang menempa emas menjadi murni. Dia spontan, ekspresif, tanpa tedeng aling-aling, kurang memiliki filter meskipun punya visi ke depan, cekatan (dan mungkin kecepatan bicaranya lebih dibanding kecepatannya berpikir he…he..) namun diatas semuanya itu dia adalah pribadi yang mengagumkan dan memilikinya sebagai sahabat membuat saya memaknai hari-hari saya dengan nilai-nilai berharga.

Adalah Serijati Suryanto yang tiba-tiba muncul dalam benak saya saat dihadapkan pada setumpuk kewajiban yang harus di penuhi. Waktu saya semakin singkat untuk menyelesaikan tugas-tugas tapi biarkan keberadaan Seri menjadi semangat saya untuk berseri-seri.

Jakarta, 17 Pebruari 2010

Sabtu, 10 Januari 2009

Kepada Orang-orang Tercinta (3)

Perkenalkanlah pasukan pemelihara kebahagiaan saya. Mereka adalah Rhein, Richard, Ezekiel, Randhika, Patrick, Fredrick, Kristoffer, Tiwagar, Nicholas, dan Justin.

Rhein – ahli strategi, mampu merumuskan masalah, pandai membuat alasan, gampang meminta maaf, polos, kinestetis, cerdas, kadang berprasangka, pengamat yang baik, jujur, sensitif.

Richard – ahli membujuk, senang berbagi, tempramen, serba instan, mau berkorban, moody, punya keinginan kuat namun gampang menyerah, ramah, keingintahuan besar, tidak teliti, terburu-buru.

Ezekiel – ahli musik, berkelas, setia kawan, macho, berkeinginan keras, susah dibujuk namun gampang terpengaruh, pemaaf namun susah melupakan, petualang, suka pada tantangan, konsisten

Randhika – ahli pada pertahanan diri, kutu buku, cerdas, pemikir, anti sosial, kaku, mandiri.

Patrick – ahli menularkan semangat, butuh motivasi namun cepat belajar, manja namun mau berusaha.

Fredrick – ahli membujuk, penolong, suka berbagi, ramah, jujur, polos, mampu berpegang pada komitmen, mudah bergaul

Kristoffer – ahli bercerita, pemaaf, pencinta damai, gampang berkompromi.

Tiwagar – ahli berlari, tekun, pendiam, penolong, konsisten, patuh.

Nicholas – ahli mengingatkan orang, tekun, senang berbagi, rapi.

Justin – ahli mengambar, tekun, rapi, sensitif, kemauan keras, kadang iseng, semangat juang tinggi.

Kepada merekalah saya titipkan harapan saya untuk memulai pembaharuan membentuk manusia sejati. Kepada merekalah saya persembahkan kasih dan terima kasih saya yang terbesar. Kepada merekalah saya berikan kepercayaan untuk terus berproses menjadi lelaki-lelaki kecil, remaja, dan dewasa dengan kepribadian utuh dan kepedulian pada sesama. Walaupun tanpa saya ada bersama mereka.

Kepada Orang-orang Tercinta (2)


Adalah Cynthia, Fiona, Sharleen, dan Ferent. Empat malaikat sekaligus kurcaci yang saya cintai. Mereka begitu muda. Belum sewindu waktu yang mereka jalani, namun ribuan arti sudah mereka torehkan pada perjalanan menapaki hakekat kehidupan saya.

Bermula dari Cynthia. Gadis mungil bermata dan berambut indah itu mengenggam tangan saudara laki-lakinya saat pertama kali pertama kami bertemu. Celoteh riangnya selalu muncul saat kami berpapasan di koridor sekolah, di lapangan, di depan toilet, di kantin, di mana-mana. Dia ramah, menyenangkan dan mengemaskan. Lalu kami disatukan dalam hubungan guru dan murid saat Juni 2007, gadis cilik bernama Cynthia Dewi itu berada di kelas saya. Dia pemberontak dengan 101 alasan, dia berdalih untuk mendapatkan pembenaran, dia menolak setiap bentuk disiplin, dan dia akan diam tidak bergeming saat diminta melakukan sesuatu yang tidak disukai. Dia selalu meninggalkan buku-bukunya dalam laci dan selalu menemukan alas an untuk keteledorannya.

Dia potongan puzzle saya yang pertama.

Mata beningnya beradu dengan kerutan dahi saya saat kami beradu argumen. Tangan kecilnya bergerak kesana-kemari seolah ikut member penjelasan bahwa ia tidak bersalah dalam setiap pelanggaran yang ia lakukan. Dan mulut kecilnya akan mengumamkan kata-kata kekecewaan saat saya menyuruhnya menjalani hukuman.

Lalu ia akan segera bereaksi. Berjalan perlahan dan melakukan persis seperti apa yang saya minta.

Senyum saya muncul. Masalah kami sudah selesai. Detik kemudian akan mentransfer kembali keceriaanya, membawa kembali rinai-rinai keriangan yang akhirnya memenuhi rasa cinta kami berdua. Cynthia adalah reporter terbaik. Keterangannya selalu dapat dipercaya, akurat, dan jelas. Dia mampu menceritakan setiap detil kejadian saat saya lemah mengawasi anak-anak. Dia akan datang seperti kamera CCTV yang memutar kembali rekaman kejadian. Tak seorang temanpun menyanggahnya. Dia asisten saya dengan kemampuan reportase terbaik.

Cynthia tidak begitu memperhatikan angka-angka ulangannya. Baginya 8, 9, 10 atau 5 adalah sama. Yang terpenting baginya adalah berbagi kebahagiaan dengan sesama. Kesedihan baginya adalah jika sesorang yang ia kasihi berada dalam masalah. Ia menangis saat saya menangis walaupun ia tidak mengerti arti tangisan saya. Baginya setiap air mata saya adalah kekecewaan karena mereka telah melukai hati saya. Dia hanya tahu bahwa jika saya bersedih ia juga akan merasakan hal yang sama. Cynthia akan berada bersama Fredrick saat teman yang lain mengeluh. Cynthia akan mengulurkan tangannya saat Rhein merasa kata-katanya melukai perasaan. Cynthia dengan senyumnya yang jenaka berada di depan saya di suatu jam makan siang dan berkata, "Mam Maria lucu kalau bilang 'enak'". Saya akan mengenang kalimat itu selamanya.

Kemudian ada Fiona. Dia mulanya muncul sebagai keponakan sahabat saya. Namun selanjutnya ia akan menjadi satu dari murid terpandai saya. Fiona Julieta. Dia punya keanggunan dan kekikukan aristokrat. Dia muncul sebagai gadis kecil dengan kepribadian kuat. Dia mewarisi keinginan untuk selalu berusaha dari ibunya. Dia punya penalaran sempurna untuk seorang anak kecil. Kelemahannya hanya karena Fiona masih harus belajar banyak untuk menerima kekecewaan dalam hatinya. Fiona sahabat yang baik dan pemimpin yang handal. Dia mampu menjaga dan membina persahabatan. Dia gadis kecil dengan komitmen.

Sepanjang hubungan kami dia hampir tidak pernah terlibat masalah. Saya hanya mengingat saat dia berada di depan bersama empat anak laki-laki lainnya. Saya tidak meminta dia maju ke depan. Saya hanya mengemukakan kalau kami ada masalah dengan sekelompok anak yang sering bermain dan berlarian di bawah pohon bambu dekat sungai. Saya menjelaskan bahaya dari aktivitas itu dan meminta kesadaran anak-anak untu mengaku. Saya tahu dia ada bersama mereka tapi saya menunggu ia maju dengan sendirinya. Saya tidak perlu menunggu. Dengan mata yang berkaca-kaca ia maju. Lalu tangisnyapun tumpah. Sejak saat itu Fiona tidak pernah lagi bermasalah. Dia seorang yang menepati janji.

Untuk beberapa periode saya memilihnya menjadi ketua kelas dan selalu merasa puas atas kepemimpinannya. She really makes me proud.

Fiona melengkapi puzzle saya yang hilang.

Setelah itu saya bertemu dengan Sharleen Putri Chasandra. Hm…gadis kecil ini istimewa. Dia tekun, bahkan sangat tekun. Dia punya idealisme. Seringnya idealism itu mendorongnya mendapatkan pencapaian akademis yang baik, namun sesekali idealism itu membawanya dalam masalah. Dia tertutup pada awalnya. Dibutuhkan waktu lebih lama bagi Sharleen untuk berani berbicara. Dia hanya akan menatap dan melakukan tugas-tugasnya. Dia hampir selalu menyelesaikan tugas pertama kali.

Setelah sekian lama kami mulai berbicara.

Sharleen kecil selalu berusaha menjadi yang terbaik. Saya menghormati setiap perjuangan yang ia lakukan. Saya selalu menyebutnya sebagai alasan bagi teman-teman yang lain untuk berusaha lebih keras. Sharleen mampu mengatur dirinya dengan baik. Dia menjadi murid perempuan favorit bagi murid-murid laki-laki. Seringkali Rhein dan Richard datang berbisik kepada saya meminta dan membujuk agar boleh duduk bersama Sharleen. Saya sering menjadikan 'duduk bersama Sharleen' sebagai 'reward' bagi Richard dan Rhein jika mereka mampu menjadi lebih baik. Dan itu selalu berhasil.

Sharleen memang motivasi bagi sebagian murid laki-laki saya.

Sharleen menempelkan potongan lain dalam puzzle kehidupan saya.

Ferent muncul di saat-saat terakhir. Fillanta Ferent Onggo. Dia seorang penghibur. Dia datang dengan keberaniannya. Ferent menghadapi kesulitan pada mulanya. Kedatangannya di pertengahan tahun akademik membuatnya berusaha lebih keras mengejar ketinggalan. Dan dia berhasil.

Ferent bagi saya adalah cerminan kepolosan anak-anak. Suatu hari dia datang kepada saya bertanya, "Mam, mengapa ya perempuan itu selalu tertindas?" Saya kaget setengah mati dengan pertanyaan cerdas seperti itu. Mungkinkah dari seorang anak kelas 1 SD muncul pertanyaan gender dan kepedulian sosial seperti itu? Dengan pelan saya kembalikan pertanyaannya. "Mengapa Ferent bertanya seperti itu?" Kemudian dengan nada malas-malasan dia berkata, "Habis, kalau anak laki-laki punya masalah dan dihukum sama Mam Maria, kami anak perempuan jadi 'gak boleh main juga." Saya sadar seketika. Sejak saat itu hukuman satu untuk semua diharamkan bagi kelas saya.

Ferent seorang fleksibel. Dia mampu memahami alasan, tidak masalah dengan alternatif, dan tetap ceria meskipun akhirnya kami hanya menjalankan rencana kedua. Namun sikap itu menjadi masalah saat saya memintanya melakukan sesuatu. Jika ia tidak berhasil melaksanakan tugas yang saya berikan, ia akan langsung memutuskan untuk melakukan hal yang lain tanpa berkonsultasi kepada saya. Sama seperti Cynthia, Ferent senang membantu. Memiliki dua gadis kecil seperti mereka dalam kelas saya seolah membawa seluruh kebahagiaan untuk hidup saling mengasihi.

Ferent menutup puzzle saya menjadi keeping yang utuh.

Cynthia, Fiona, Sharleen, dan Ferent – terimalah rasa terima kasih saya yang tidak terhingga karena sudah menceritakan kisah bahagia untuk saya. Tetaplah menjadi malaikat-malaikat kecil yang menjaga persabahatan yang terbina antara kita –the class of 2007. Saya menikmati setiap persembahan cinta yang kalian berikan. Kado-kado kecil, surat-surat pendek, dan karya-karya lucu yang kalian berikan akan saya simpan dalam hati –selamanya.


Kepada Orang-orang Tercinta (1)


Untuk Kelas 9 (khususnya) – Christopher, Natashia, Johan, Priscilla, Winona, Erick, Tommy, Ivan, Tiffany, Angelita, Maesa, dan Cornelius

Untuk Kelas 8 – Jimmy, Michelle, Devy, Edward, Suvitti, Hizkia, Gracia, Linda, Vianny, Firly, Kevin, Joshua, Erwin, Tommy, Adam, dan Melissa

Untuk Kelas 7 – Diraj, Eka, Daniel, Hosea, Adi, Selly, Jerry, Diana, Marini, Sukraj, Stefan, Nathan, Sabrina, Ray, Aditya, Stevi, Vincent, Erick, Lydia, David, dan Amanda


Good Morning my beloved students.

Pada saat kalian membaca ini kita tidak lagi bersama sebagai guru dan murid di sekolah yang kita cintai. Tapi kalian semua adalah mutiara-mutiara saya dan sampai kapanpun akan bersedia menjadi guru dan sahabat kalian. Waktu-waktu saya bersama kalian mungkin tidak banyak tapi itu sangat cukup untuk membuat saya memutuskan bahwa kalian sangat berarti dan mengilhami saya merangkum nilai-nilai berharga dalam kehidupan.

Berada bersama kalian, mengajarkan sesuatu yang mungkin kalian anggap baru, mendengarkan celoteh dan komentar kalian (yang kadang lucu, aneh, bahkan menyebalkan), juga menyaksikan kemudaan kalian yang begitu menyenangkan serta menyaksikan 'kenakalan' khas remaja membuat saya merasa beruntung memiliki kesempatan mengenal kalian.

Maafkan saya jika saya terpaksa meninggalkan kalian seperti ini (khususnya untuk Kelas 9) karena hidup adalah pilihan. Sesuatu yang berat bagi saya saat harus tidak memilih kebersamaan bersama kalian saat ini.

Izinkan saya membingkai kenangan yang tercipta di antara kebersamaan yang pernah kita miliki.

Tuhan memberkati kalian semua. I really love you guys!!

--------------------------------------------

Christopher – terima kasih atas antusiasme, keingintahuan, kebijakan, serta rasa kasihmu pada Natashia yang membuat saya melihat keindahan dalam jiwamu. Saya tidak pernah menjumpai remaja dengan ketertarikan pada spiritualisme, kehakikian, dan filosofi seperti kamu. Sering saya berpikir kamu terlalu muda untuk semuanya itu. Namun orang-orang besar awalnya seperti ini. Jika sikap itu diterjemahkan aneh atau cenggeng bagi orang lain, saya justru melihatnya sebagai bentuk 'pertahanan diri' yang kamu tunjukkan. Kamu membuka pesan-pesan untuk teman-temanmu yang lain. Sama seperti harapan saya agar kamu membukakan pintu bagi mereka menuju pemahaman menjadi seseorang yang lebih baik.

Natashia – terima kasih atas senyum kikukmu, atas sikap agungmu melewati kerikil yang seharusnya tidak menjadi milikmu, atas usahamu untuk tetap ceria. Saya percaya suatu saat saya akan mendapati engkau sebagai wanita mulia.

Johan – terima kasih atas perhatian luar biasa dalam kepribadian yang tampak tidak peduli, masa bodoh, dan ogah-ogahan. Saya dapat melihat bahwa engkau rindu untuk mengalami proses untuk menjadikan dirimu lebih baik. Pesan saya , -hati-hati pada kharisma yang engkau miliki. Manfaatkan itu untuk sesuatu yang positif.

Priscilla – terima kasih atas usaha untuk mendapatkan hasil terbaik dalam setiap pencapaian. Cara pandangmu melihat segala sesuatu secara belumlah utuh, namun dengan sedikit usaha dan keyakinan kamu akan menjadi wanita bijak yang mampu membahagiakan orang-orang yang kamu kasihi. Saya suka melihatmu senang membantu dan berusaha menyenangkan orang lain. Sikap melayani yang ada dalam dirimu akan membawa kamu menjadi entrepreneur sejati.

Winona – terima kasih atas pembuktian yang berusaha engkau lakukan. Engkau adalah sebentuk potensi yang terbungkus dalam sikap keengganan. Sedikit komitmen, sedikit rendah hati, sedikit kepedulian akan menghantarkanmu pada kesuksesan. Jiwa mudamu masih harus mengalami banyak hal. Mulailah untuk menunjukkan sikap menghargai terhadap apapun. Kamu akan keluar sebagai pemenang.

Erick – terima kasih atas nuansa bening dalam jiwamu. Kebaikan dan semangatmu adalah kombinasi menarik bagi seorang remaja dengan senyum paling mengagumkan. Keinginanmu untuk melihat sisi baik dalam segala sesuatu diwariskan secara sempurna dari orang tuamu. Saya melihatmu tumbuh – dari anak-anak menjadi remaja, dan saya rindu untuk melihatmu menjadi lelaki dengan kepribadian kuat dan dengan kasih yang penuh. Tetaplah berusaha memberikan yang terbaik.

Tommy – terima kasih atas sikap diam yang menghanyutkan. Saya tahu engkau memiliki begitu banyak kemuliaan. Senyum dan sikapmu berbicara banyak daripada kata-kata. Saya cukup mengerti bahwa di waktu-waktu lalu ada hal-hal yang terlewatkan dan di waktu-waktu yang akan datang ada begitu banyak kesempatan. Berdoa Tommy, dan engkau akan berada di antara 'rising stars' yang menatap dunia dengan keyakinan.

Ivan – terima kasih atas usaha untuk memberikan yang terbaik. Engkau adalah bukti pencapaian saya sebagai guru. Betapa bahagianya saya saat engkau mampu memberikan nilai yang baik –bukan demi kemegahan pribadi namun demi aktualisasi diri. Jadilah dirimu sendiri dan biarkan orang lain melihatmu apa adanya. Saya bahagia saat engkau bahagia.

Tiffany – terima kasih atas konsistensi, kecerdasan, kehati-hatian, ketelitian, dan keanggunan. I can see your beautiful mind. Your curiosity will bring you the whole world. You are still so young and this complicated world will take you nowhere if you don't have faith inside. There are so many mysteries and miseries outside. May God guide you through the path of long-life journey and have a belief that everything is for His sake only. Be in the right path 'cause I am longing to see you among the beautiful angels.

Angelita – terima kasih atas kebaikan murni seorang gadis teramat cantik yang pernah saya kenal. Intuisi kepedulianmu membuat saya kagum. Kenali potensi dirimu Angelita karena saya tidak ingin melihatmu membuang-buang waktu melakukan hal-hal yang tidak kamu sukai. Saya mengasihimu Angelita dan setiap musik yang kamu mainkan akan mengingatkan saya pada kemurnian hati seorang gadis belia.

Maesa – terima kasih atas keunikan yang kamu persembahkan. Saya ingin membicarakan begitu banyak hal denganmu Maesa karena saya ingin menjadi seseorang yang bisa membantu kamu memahami indahnya memilki pengalaman yang tidak dimiliki oleh remaja-remaja lain seusia kamu. Sikapmu membuat saya memutuskan beberapa hal dalam hidup saya termasuk menambahkan satu nilai untuk 'don't judge the book from its cover'. Perjalanan masih panjang Maesa, dan laluilah itu dengan kelapangan jiwa. Saya akan berdiri mengangkat topi dan menundukkan badan saya untuk memberi penghargaan tertinggi bagi seorang wanita muda seperti kamu.

Cornelius – terima kasih atas kerja keras, kecerdasan, dan jerih payah. Kamu adalah lambang pencapaian buat saya. Namun semuanya akan lebih berharga jika kamu berdiri lebih tinggi lagi dan melihat segala sesuatu lebih dari sekedar angka-angka prestasi. Memperoleh kesempatan untuk belajar adalah kesempatan yang luar biasa dan kamu memiliki hampir semua akses menuju pembelajaran. Mulailah mencatat nilai-nilai kehidupan dan tambahkanlah predikat untuk lulus dari 'school of life'. I really enjoy your fighting spirit.

Kalian semua adalah berkat Tuhan dalam kehidupan saya.


Jumat, 26 September 2008

Nilai-nilai Saya

Lama tidak berbicara di sini. Betapa luar biasanya Tuhan kita karena memberikan saya kesempatan belajar banyak dalam rentang waktu tiga bulan terakhir. Saya berterima kasih kepada Joseph Adrian, Richard Wong, Muhammad Rhein Rifky, dan Frederik Elijah Simatupang atas nuansa dunia mereka yang ajaib. Saya mengasihi mereka. Kadang saya menyesal karena terlambat menyadari bahwa mereka hanya perlu dipahami.

Joseph, 11 tahun, menghabiskan setengah hidupnya bersama-sama saya. Suatu ketika sang guru yang ingin mengembangkan sisi positif murid-murid bertanya kepada semua teman-temannya, "Siapa yang kamu kagumi?" Anak-anak lain dengan yakin mengatakan mereka mengagumi seseorang (dengan menyebutkan namanya). Joseph dengan tegas berdiri dan bertanya, "Apakah saya boleh mengagumi diri saya sendiri?" Riuh rendah kelas tercipta. Joseph tidak mengerti mengapa jawabannya terdengar asing bagi anak-anak lain.

Joseph bukan sedang sombong. Dia juga bukan sedang merasa lebih dari teman-temannya. Dia punya alasan kuat bertanya seperti itu. "Tidak ada seorangpun mengagumi saya. Jadi bolehkan saya mengagumi diri saya sendiri?" Saya nyaris menangis mendengar jawaban itu. Betapa saya ingin memberikan separuh dari pengertian saya tentang kehiduapan kepada bocah lelaki beranjak dewasa ini. Keterbatasannya memahami segala sesuatu dari kaca mata anak-anak normal membuatnya tampak 'aneh'. Saya lebih suka menyebutnya sebagai 'hal yang istimewa'. Dengan rasa terima kasih dia mendengarkan penjelasan saya bahwa saya mengaguminya. Dia seperti 'oase' bagi saya saat beban emosi sedang memuncak. Dia seperti buku humor bagi saya saat dunia saya menjadi begitu serius. Dia seperti buku cerita menarik saat saya sedang ingin berpetualang. Joseph selalu membuat saya melihat kehidupan ini dari sisi lain.

Richard Wong, 7 tahun, memiliki senyum paling manis. Saya suka melihat paduan menarik senyum dan matanya saat ia sedang senang. Richard butuh belajar mengendalikan dirinya. Dia butuh jadwal ketat yang mengajarkan tentang penurutan dan memahami keterbatasan. Richard senang berbagi dan menolong. Sikapnya yang tidak menyukai penolakan membuatnya tampak agresif pun disaat dia menawarkan bantuan. Karenanya saya menangis. Karenanya saya kehilangan akal. Karenanya saya hampir-hampir menyerah. Dan karenanya juga saya menemukan permata kepada nilai ingin diterima dan dianggap.

Richard rindu untuk diakui. Dia ingin menyatakan bahwa saya bisa jadi baik jika kamu menginginkannya. Ricard butuh stimulan. Richard butuh motivasi. Richard butuh penerimaan. Saya berharap saya masih memiliki waktu untuk memberikannya semua itu.

Muhammad Rhein Rifky, 7 tahun, memiliki kemampuan analisa yang sangat baik. Dia cerdas dan mudah menyerap semua informasi yang disuguhkan padanya. Dan keunggulan itu terkadang tertutup oleh kecenderungannya untuk tidak bisa diam. Rhein sedang pembelajar kinestetik. Ketika sang pendidik (baca : pengajar) tidak memahami ini, Rhein akan tampak seperti anak yang susah diatur. Dia selalu bergerak, selalu menemukan alasan untuk pelanggarannya, dan selalu mengomentari segala sesuatu. Jika awalnya saya merasa itu mengganggu, saya kemudian sampai pada kesimpulan bahwa itu adalah bentuk aktualisasi dirinya. Kesadaran itu membuat saya 'menikmati' waktu-waktu bersama Rhein.

Rhein punya rasa peduli yang tinggi. Dia selalu datang dengan ide-ide sosial yang tajam. Mulanya memang ide itu datang dari guru, tapi dia satu-satunya murid saya yang mampu merekam konsep saya dan mengeluarkannya sebagai kesimpulan. Saya bangga padanya. Saya tidak sabar melihat Rhein tumbuh remaja dan dewasa. Mudah-mudahan dia akan mengingat saya, seperti saya mengingatnya.

Frederik, 7 tahun, sangat tertarik dengan buku. Dia memilki rentang konsentrasi yang pendek, khususnya ketika sajian pembelajaran untuknya tidak menarik. Frederik masih seperti buku yang tertutup bagi saya. Dia belum mengizinkan saya membacanya tapi dia sudah membukakan halaman depan dan terakhir untuk saya. Frederik menyukai aktivitas fisik, membagikan segala sesuatu yang dianggapnya menarik, dan menolak setiap bentuk disiplin jika ia tidak memahaminya. Dilahirkan kembar membuat Frederik selalu bersentuhan dengan permasalahan 'diperlakukan sama' dan 'diperlakukan berbeda'. Frederik gampang bergaul dan tidak menikmati pembelajaran dalam ruangan untuk waktu yang lama. Tingkat kemandirian yang masih perlu diasah membuatnya seperti tidak bisa dikendalikan. Namun sebenarnya Frederik mampu melibatkan dirinya dalam perjanjian-perjanjian ketika perjanjian-perjanjian itu dilihatnya seperti permainan.

Joseph, Richard, Rhein, dan Frederik adalah nilai-nilai saya. Nilai-nilai itu membantu menjadi kaki dari meja 'belief' saya. Ketika cinta ada diantara kami, saya yakin saya akan mengukir kenangan indah bersama jiwa-jiwa muda itu. Terima kasih Tuhan atas pengertian ini.

Senin, 16 Juni 2008

The Mission


Konser kecil bertajuk 'The Mission' itu sudah selesai. Menjelang pukul 8 malam, 15 Juni 2008, pagelaran seni The Young Ambassador, Euphonic Option, Mandarin dan English Club, serta beberapa siswa SD dan SMP pilihan sontak riuh rendah dilanda kegembiraan. Mereka telah berhasil memberikan kebahagian yang luar biasa kepada Daisy Princesa dan Titus Chen. Saya juga menarik nafas lega.

Berada diantara keceriaan jiwa-jiwa muda itu membuat saya bersemangat. Saya memang pada awalnya meletakan hati saya dalam segala persiapan pementasan 'The Mission'. Meskipun secara teknis sahabat-sahabat saya yang lain bekerja mati-matian. Diantara waktu-waktu yang sangat mendesak --antara menyelesaikan tugas-tugas rutin dan mengatur rencana masa depan-- saya berusaha sekuat tenaga memberikan sumbangsih, meskipun dalam segala keterbatasan saya.

Ya, konser kecil itu berjudul 'Misi'. Kata yang sangat berharga dalam hidup saya. Hari-hari belakangan menyelipkan satu peringatan agar saya memahami misi saya. Misi sebagai seorang ibu, istri, dan guru. Peran yang bisa saya lakukan hanya dengan pertolongan Tuhan, karena 3 status itu luar biasa sulit...sungguh.....