Senin, 17 Maret 2008

Sedang Apatis

Ingatkah engkau dengan ritual upacara bendera di hari Senin pagi? Saat sang saka merah putih dikibarkan diiringi dengan lagu Indonesia Raya? Mungkin engkau lupa karena rutinitas itu sudah berpuluh tahun berlalu. Tapi tidak bagi saya.

Pagi ini says tergesa ke sekolah karena yakin akan terlambat. Hari ini Senin 17 Maret 2008, saya seorang guru sekarang dan upacara bendera menjadi tradisi rutin sekolah-sekolah yang menyakini upacara bendera adalah bagian pembelajaran akan nasionalisme. Saya baru menyetujui saat saya tidak lagi menjadi peserta upacara namun diwajibkan berdiri 'berpanas ria' sebagai pembina upacara.

Tapi saya terlambat. Ide nasionalisme itu menjadi garing saat saya berdiri 'behind the bars' sebagai pesakitan bersama siswa-siswa lain yang terlambat. Tapi berada diantara mereka adalah bentuk lain idealisme saya. Saya tidak bangga menjadi terlambat dan tidak sedang berunjuk rasa. Saya bisa saja menyelinap di balik pagar dan bersembunyi menyibukkan diri atau mencari alasan masuk akal mengapa saya tidak mengikuti upacara. Tapi itu malahan membuat saya menjadi kerdil. Saya merasakan berada dalam humanisme melakukan kesalahan. Bukan untuk menjunjung tinggi ungkapan 'nobody is perfect' tapi untuk memaknai betapa mengerikannya menjadi apatis. Seharusnya saya malu karena terlambat. Seorang guru yang terlambat menjadi santapan kritikan topik 'guru seharusnya menjadi teladan'. Tapi saya tidak perduli. Dan ketidakpedulian itu mengerikan.

Saya selalu percaya bahwa berproses adalah yang terutama. Mudah-mudahan saya akan segera menyelesaikan permasalahan saya mengenai apatis ini.

Doing right by not doing wrong is not doing right, isn't it?