Kamis, 29 November 2007

Nilai Minus

Jika kemarin hari belajar saya, maka hari ini saya tidak lulus ujian. Entah kenapa saya memprioritaskan tuntutan saya untuk tidak berkompromi pada perbedaan hari ini. Dengan kesadaran saya tidak memberi ruang pada sikap ramah tamah dan basa basi dan memberikan peluang bagi 'devil in me' untuk mengambil peran. Saya menyesal? Mungkin nanti. Yang ada sekarang adalah perasaan kalah karena saya tidak menjadi lebih baik hari ini. Saya malu? Tentu saja. Saya merasa berdosa? Saya tidak begitu yakin dengan ini. Setidaknya saya tidak ingin mengakuinya sekarang karena sebagian diri saya 'membenarkan pembenaran diri' saya itu. Satu hal yang pasti. Saya tidak bahagia dengan tindakan yang saya ambil hari ini. Saya tidak lulus dalam ujian kesabaran dan mengatasi kemarahan yang sebenarnya saya pelajari kemarin.

Saya butuh Kuasa itu sekarang. Butuh Kekuatan itu sekarang, untuk mengubahkan kedegilan hati saya yang mungkin sudah mulai usang. Saya menyadari sepenuhnya bahwa saya tidak berhak merefleksikan tindakan menyenangkan orang lain dengan tindakan yang sama. Saya tidak berhak memantulkan kembali pikiran dan prilaku negatif agar kegundahan saya juga dirasakan orang lain. Hak saya adalah menerimanya sebagai bagian dari kehidupan manusia yang sudah tercemar oleh ketidaksempurnaan. Dan jika jiwa saya tidak lagi kerdil saya dapat mengubah setiap aura negatif itu menjadi batu bata yang akan terus saya kumpulkan. Untuk membangun satu rumah pada akhirnya. Bagian saya adalah terus belajar betapa kegundahan atau kekuatiran tidak akan membawa saya kemana-mana. Bahwa sesuatu yang besar itu tidak terletak dari meralat setiap masukan negatif. Bahwa kebijaksanaan itu terletak pada keteladanan yang diberikan Sang Guru Agung. Bahwa sudah seharusnyalah saya menenangkan diri dan membiarkan keping-keping puzzle terpecah itu melengkapi dirinya sendiri. Bahwa yang harus saya lakukan adalah bersyukur karena setiap saat saya diingatkan untuk menyadari betapa saya tidak berarti. Untuk itu mengapa harus merasa terusik? ;))

Selasa, 27 November 2007

Sudah Terlalu Lama...

Sudah terlalu lama saya memiliki keinginan untuk mendokumentasikan semua rasa sayang saya terhadap Joseph Adrian dalam sebuah tulisan (jika tidak terlalu berkhayal -sebuah buku). Sudah terlalu lama saya mencintai tutur bahasa yang digunakannya setiap kali pertemuan ada diantara kami. Sudah terlalu lama saya merindukan melihat ia tumbuh menjadi lelaki dengan intuisi dan kebaikan hati yang sempurna. Sudah terlalu lama saya menyesali setiap kali kemarahan tidak berarti saya membentengi alur pikirnya yang sangat berbeda dengan lazimnya anak seusianya. Sudah terlalu lama saya mengingat-ingat kenangan yang diciptakan sejak Juli 2004 saat mata bingungnya menatap keberadaan saya (yang sama bingungnya). Sudah terlalu lama saya memendam rasa cinta saya terhadap kepolosan dunia abstraknya yang luar biasa indah. Sudah terlalu lama saya menyadari bahwa seumur hidup saya akan selalu berwarna karena bertemu dengannya.

Saya Seorang Yang Bodoh

Saya sering merasa jengkel akhir-akhir, sering gampang marah, dan mudah sekali terusik oleh hal-hal sepele, terprovokasi oleh kata-kata yang tidak penting. Mungkin karena beban kerja yang lumayan berat dan waktu yang pendek untuk diclosing akhir tahun ini. Tapi tiba-tiba saya merasa rugi dengan itu semua. Pekerjaan saya tertunda dan kualitas kinerja saya menurun. Waktu dan kesempatan sering saya habiskan dengan 'curhat' untuk melampiaskan kedongkolan saya pada hal-hal yang tidak berjalan sesuai kemauan saya. Hari belajar saya tentang kemarahan ini dimulai saat Alexander murid saya kelas tiga SD mengingatkan betapa bodohnya saya memberi perhatian dan menyediakan ruang di hati untuk memberi jalan bagi resah saya pada hal-hal yang tidak bisa saya ubah. Ya...saya belajar dari seorang anak 9 tahun. Dengan polosnya ia memberikan satu ayat dalam Amsal yang harus dihafalnya karena ia bertugas membawakan renungan pagi esok harinya. Siapa saya ini yang menilai diri saya terlalu tinggi sehingga harus dihargainya? Seberapa sempurnanya saya untuk menetapkan standar bagi orang lain? Apa yang sudah saya lakukan sampai-sampai saya menuntut orang lain memberikan yang terbaik? Setulus apa motif saya sehingga saya merasa orang paling suci? Apakah saya sedemikian berharganya sehingga orang lain harus dikorbankan demi mempertahankan eksistensi saya? Who do you think you are that everyone should pay closely attention toward your feelings?

Saya seharusnya terkubur dalam rasa malu saya yang sangat karena berani bersikap emosional dan memelihara kemarahan saya.

Amsal 20 : 3 Terhormatlah seseorang, jika ia menjauhi perbantahan, tetapi setiap orang bodoh membiarkan amarahnya meledak.

Minggu, 18 November 2007

City Life Versus Myself

Kadang saya merasa sangat sial karena tidak bisa menikmati gemerlapnya ibukota. Saya heran kenapa saya selalu tertekan saat berada di tengah gemerlapnya Jakarta. Gedung-gedung tinggi, jalan-jalan tol dan mobil serta rumah mewah menjadi hal yang menakutkan bagi saya. Belum lagi tingkat kriminalitas dan penyakit jiwa yang beragam bentuk dan kualitasnya. Saya ngeri berlama-lama di Jakarta.

Sering saya melihat diri saya berada dalam rumah di pinggir danau atau di lembah di ujung Papua. Menyentuh alam dengan hirupan nafas saya. Memenuhi ruangan imaji saya dengan bingkai alam penuh pohon dan suara burung. Kapan ya? Mudah-mudah tidak lama karena saya mulai terserang satu jenis penyakit jiwa. Tidak mau bertemu orang yang tidak saya kenal.

Potret Hari Minggu : Tidak Selesai

Saya ingin memotret hari ini. Siapa tahu bertahun-tahun kemudian saya akan membutuhkan gambarnya. Ini hari Minggu. Hari yang sama dengan hari yang lain kecuali aktivitas ke pasar nyetok logistik untuk seminggu. Pasar Kemiri itu terletak di pinggiran Kali Pesanggarahan. Entah apa yang akan terjadi dengan kali ini nantinya. Sekarang saja wajahnya tidak lebih baik dari kali-kali lain yang membelah Jakarta, keruh dan penuh sampah. Untunglah di sepanjang jalan menuju ke pasar masih terdapat pohon-pohon rindang yang setidaknya masih menyimpan sedikit udara segar saat saya melintas di bawahnya. Kios-kios mangga bermunculan seriring dengan musim yang sudah berlangsung sebulan lebih. Saat ini Mangga Harumanis dijual 4 ribu perkilo. Jika sabar bisa turun sedikit lagi. Akhir tahun menjadi masa yang menyenangkan untuk berburu buah. Kekasih saya bertugas membeli persediaan buah untuk seminggu. Urusan tawar-menawar dia lebih jago. Saya tidak pernah bisa menawar. Karena kesiangan saya tidak bisa mendapatkan tempe dan tahu yang bagus. Hal buruk bagi keluarga pemakan tumbuhan seperti kami.

Minggu, 11 November 2007

Menunggu Sang Pembebas Waktu

Seseorang yang sangat dekat dengan saya selalu wanti-wanti, "Jangan main-main dengan waktu!" Mengerikan sekali saat menyadari kita lalai memanfaatkan atau menggunakan waktu kita dengan tepat sampai penyesalan terjadi. Saat merasakan betapa saya sangat mencintai menjadi seorang guru, saya pernah menyesal mengapa pengalaman itu tidak dimulai sejak dulu (pada saat saya masih sekolah atau kuliah mungkin). Karena setelah berumah tangga dan punya anak, waktu saya terbagi-bagi antara istri, ibu, dan guru. Saya merasa ingin punya waktu lebih banyak mempelajari dunia anak-anak dan mendidik generasi dengan kepekaan spiritual. Sekarang saya sedang mencoba membuat resolusi manajemen waktu dan mengalokasikannya untuk belajar atau membaca buku-buku yang membuka wawasan saya. Jangan sampai sang waktu itu mengambil semua cita-cita saya dan memaksa saya menerima apa adanya. Jika waktu-waktu menjadi 'jahat', saya ingin Sang Pemberi Waktu itu telah membekali saya dengan pengertian yang cukup bahwa waktu seyogianya digunakan mencari kebenaranNya dan memahami kehendak Tuhan bagi hidup kita.
Putra kedua saya, Hazon El Yeshua, genap 1 tahun hari ini. Saya ingin waktu yang dianugerahkan untuk saya dapat dimaksimalkan dengan mengajarkannya (serta kakaknya) bahwa waktu-waktu didepan akan semakin berat. Untuk semua beban itu kita membutuhkan seorang Pembebas Waktu. Biarlah Tuhan dipermuliakan dengan pengertian ini.

Senin, 22 Oktober 2007

Kepedulian Nicho Kecil

Anak laki-laki kecil itu namanya Nicholas Sumargo. Kelas 1 SD Makarios. Umurnya 6 tahun. Nicho kecil punya dua adik laki-laki yang masih balita. Aku memperhatikan wajah polosnya hari ini. Dengan keharuan yang sangat melihat mata polos itu tertunduk menyangka tatapanku sebagai teguran karena ia berbicara dengan teman sebangkunya. Tidak demikian padahal. Aku memperhatikan betapa rambutnya sudah mulai panjang, dan mungkin dua minggu lagi aku harus menulis agenda ke orang tuanya untuk memintanya memotong rambut. Nicho siswa paling lamban di kelasku. Bukan..bukan..bukan karena ia tidak bisa. Tapi karena ia perfeksionis yang sosial. Pekerjaannya sering tertunda karena ia menghapus, membereskan, mengulang kembali, dan memperhatikan sekitarnya, menunda pekerjaannya hanya untuk datang kepadaku melaporkan kalau ada teman yang bicara kasar, ada teman yang bisik-bisik, ada teman yang duduknya tidak benar, atau hanya sekedar mengingatkan, "Mam, spidolnya ditutup, nanti tintanya habis."
Aku menyadari betapa Nicho kecil mengajarkankan untuk peduli.

Jumat, 03 Agustus 2007

Pertemuan Dengan Kesan (Untuk Sundari Kurniadi)

Orang biasanya tertarik dengan hal-hal baru. Namun nama Sundari Kurniadi dari milis SSCQ bukanlah nama baru. Saya sering malas membaca imel-imel grup yang kadang isinya tidak berhubungan dengan saya. (Apakah ada yang sama egoisnya dengan saya?) Dan Sundari Kurniadi sama sekali tidak ada koneksinya dengan saya, selain nama belakang Kurniadinya mengingatkan saya kepada Tante Lucy pengelola Katering Sekolah Makarios yang selalu punya senyum termanis. Tapi kesan dalam imelnya yang diposting ke milis SSCQ memberikan sesuatu yang baru. Tidak begitu baru memang, tapi kesan itu dirilis ulang dan di wrap baik sekali sehingga saya merasa menemukan sesuatu yang baru dalam jiwa saya. Betapa selama ini saya selalu mempunyai alasan untuk membenarkan kesalahan-kesalahan saya, betapa selama ini saya selalu memiliki penjelasan logis terhadap kekeliruan-kekeliruan saya, betapa keangkuhan saya untuk meminta maaf saya bungkus dalam aktualisasi diri yang berlabel 'identitas', betapa kesombongan saya dimanipulasi atas nama 'cinta', betapa bobroknya jiwa saya selama ini. Dan imel seorang Sundari Kurniadi tentang doa pastor yang punya nyali dan celetukan sederhana penuh hakikat bocah-bocah mengingatkan saya betapa saya harus kembali ke kasih saya yang mula-mula. Untuk itu semua saya merasa telah bertemu dengan kesan yang mendalam. Terima kasih Ibu Sundari Kurniadi. Terima kasih Tante Asun. Semoga sabat ini awal dari persahabatan kita. Blessed Sabbath...

Pak Nano

Dunno what to write this time. i m just thinking of someone who was not really important in my life until the day he died. Ada seorang tukang ojek tua yang setia mengantar jemput anak-anak Sekolah Makarios. Pak Nano, namanya. Aku pertama kali bertegur sapa saat tangan keriput tuanya membantu mengancingkan jaket Bella, anak kelas satu, yang akan naik ojeknya -yang juga tampak tua-. Dia hanya sekedar tukang ojek, tapi perhatian yang diberikan pada anak-anak yang dipercayakan padanya adalah layaknya seorang kakek pada cucunya. Sesekali aku ikutan nebeng naik ojeknya jika pekerjaan di sekolah tidak banyak dan aku pulang sebelum waktunya. He was just Pak Nano. Jumat lalu, aku mendengar dia meninggal. Setelah sebelumnya dia masih 'narik', kami seolah tidak percaya mendengar dia meninggal. mungkin serangan jantung. He was just still Pak Nano, si tukang ojek. Tapi aku merasa kehilangan ini sama artinya dengan kehilangan seseorang yang disayangi. mungkin karena aku terbiasa melihatnya setiap hari. terbiasa melihat senyumnya diantara mata tuanya yang sarat beban hidup. terbiasa melihat tangan tuanya yang gemetar membantu mengancingkan jaket bella dan meletakkan helm kecil dikepalanya. terbiasa mendengar suara lirihnya berkata, 'mari bu' sebelum dengan susah payah menghidupkan mesin motor bututnya. terbiasa merasakan betapa tulusnya pengabdian yang diberikan untuk memastikan anak-anak sampai di sekolah dan rumah dengan selamat. untuk semuanya itu, beliau patut dikenang.

Kamis, 02 Agustus 2007

The Good Looking Tukang Siomay

Beauty is just a skin deep, don't judge the book from its cover adalah pepatah yang mempromosikan kalau kecantikan dalam adalah yang lebih penting. Tapi apa salahnya jika memang secara fisik seseorang itu cantik atau tampan, dan saya rasa sangat tidak ada salahnya jika kita memiliki keduanya. Saya bukan pemuja kecantikan atau dalam golongan barisan sakit hati karena tidak beruntung memilki keadaan fisik yang tidak menarik karena well.. i am happy because i am is i am.
Saya hanya ingin sedikit berbicara dengan pertemuan, tepatnya perpapasan, dengan seorang tukang siomay yang genteng dalam perjalanan pulang dari Sekolah Makarios. Surprise? Tidak juga karena sebelumnya saya pernah bertemu, tukang sayur yang ayu, sopir pribadi yang berwajah rupawan, atau tukang sol sepatu yang berpenampilan bak pragawan. Saya hanya ingin sedikit merenung betapa sebetulnya semua orang berpotensi menjadi menarik. Itu sangat berhubungan dengan pernyataan bahwa Tuhan menciptakan segalanya sempurna. Dan betapa bodohnya menyesali diri karena sampai sejauh ini saya tidak bisa melakukan perubahan yang berarti dalam hidup saya. Hm...apakah itu ada hubungannya? Jauh mungkin. Seperti biasanya saya 'going too far'. Satu titik bisa menuntun saya pada pemahaman yang nyaris tidak terdeteksi koneksinya.
Intinya saya berterima kasih pada Tuhan pada hari ini karena Sang Tukang Siomay Ganteng menyadarkan saya betapa sebuah karya harus diwujudkan dalam kehidupan saya yang singkat ini.

Rabu, 01 Agustus 2007

Terbangun Pagi

Terbangun pagi hari adalah komitmen yang saya luncurkan setiap malam saya menutup mata. Tapi realisasinya adalah cerita lain. Dan setiap kali saya punya alasan pembenaran diri. Pagi ini saya bangun pagi. Tumben. Mungkin karena pagi ini saya mencoba memikir-mikir apa yang harus saya lakukan hari ini untuk membuatnya berarti. Yesus mempunyai kebiasaan bangun pagi dan berdoa. Doa saya pagi ini mungkin belum spesifik tapi keinginan untuk menjadi WAHM menjadi semakin kuat. Saya berjanji untuk menyelesaikan buku 'Wanita Yang Meninggalkan Karir' -kado ultah dari suami tahun ini- dalam waktu dekat. Demi Yitzhak dan Hazon -my twoseeds. Semoga cinta saya pada menulis akan memberikan sesuatu yang berarti dalam hidup dua benih itu.
Suatu pagi saya akan terbangun dengan hanya memikirkan apa yang dialami benih saya yang bertumbuh. Tapi sebelumnya saya ingin memiliki kesempatan untuk membiarkan benih-benih lain berakar, bertunas, dan tumbuh kuat. Jika cinta saya pada Sekolah Makarios berubah aktualisasinya, saya tetap berharap semuanya akan baik-baik saya.
Saya bangun pagi ini menitipkan satu pokok doa. Saya yakin Tuhan akan menjawabnya. Dalam waktu yang tidak lama lagi.

Engeline dan Cintanya Pada Robin

Namanya Engeline. Dia seorang guru di Sekolah Makarios. Hari ini aku memeluknya dengan keharuan. Bukan karena sesuatu yang terjadi antara kami, tapi karena seorang anak bernama Robin. Engeline mencintai jiwa Robin. Hatinya tersayat saat Robin divonis tidak naik kelas. Secara akademik Robin gagal menghasilkan nilai standar, tapi di detik-detik terakhir masa finalnya, Robin berhasil memenangkan hati Engeline dengan janji akan segera berubah, setidaknya bisa memperbaiki reputasi 'Robin si Algojo kecil'. Tapi sudah terlambat. Bulan-bulan terakhir ini bisa jadi menjadi hari yang menghitam bagi Robin, terlebih keluarganya. Saat naik ke level yang lebih atas dalam dunia pendidikan merupakan indikasi progress anak, tinggal kelas menjadi mimpi buruk bagi Robin dan keluarga. Saat pertanyaan demi pertanyaan seolah enggan dijawab, dan harga diri menjadi taruhan, fakta Robin tidak naik kelas menjadi masalah yang mengelinding seperti bola salju. Well, it is a long story to tell.
Jika cinta bisa memenangkan perang, maka cinta Engeline berhasil mengalahkan segalanya. Saat hari ini aku melihat Robin masuk sekolah, dan melihat senyumnya meski sedikit enggan, aku tahu cinta Engeline telah menemukan tempat untuk bertumbuh.