Jumat, 26 September 2008

Nilai-nilai Saya

Lama tidak berbicara di sini. Betapa luar biasanya Tuhan kita karena memberikan saya kesempatan belajar banyak dalam rentang waktu tiga bulan terakhir. Saya berterima kasih kepada Joseph Adrian, Richard Wong, Muhammad Rhein Rifky, dan Frederik Elijah Simatupang atas nuansa dunia mereka yang ajaib. Saya mengasihi mereka. Kadang saya menyesal karena terlambat menyadari bahwa mereka hanya perlu dipahami.

Joseph, 11 tahun, menghabiskan setengah hidupnya bersama-sama saya. Suatu ketika sang guru yang ingin mengembangkan sisi positif murid-murid bertanya kepada semua teman-temannya, "Siapa yang kamu kagumi?" Anak-anak lain dengan yakin mengatakan mereka mengagumi seseorang (dengan menyebutkan namanya). Joseph dengan tegas berdiri dan bertanya, "Apakah saya boleh mengagumi diri saya sendiri?" Riuh rendah kelas tercipta. Joseph tidak mengerti mengapa jawabannya terdengar asing bagi anak-anak lain.

Joseph bukan sedang sombong. Dia juga bukan sedang merasa lebih dari teman-temannya. Dia punya alasan kuat bertanya seperti itu. "Tidak ada seorangpun mengagumi saya. Jadi bolehkan saya mengagumi diri saya sendiri?" Saya nyaris menangis mendengar jawaban itu. Betapa saya ingin memberikan separuh dari pengertian saya tentang kehiduapan kepada bocah lelaki beranjak dewasa ini. Keterbatasannya memahami segala sesuatu dari kaca mata anak-anak normal membuatnya tampak 'aneh'. Saya lebih suka menyebutnya sebagai 'hal yang istimewa'. Dengan rasa terima kasih dia mendengarkan penjelasan saya bahwa saya mengaguminya. Dia seperti 'oase' bagi saya saat beban emosi sedang memuncak. Dia seperti buku humor bagi saya saat dunia saya menjadi begitu serius. Dia seperti buku cerita menarik saat saya sedang ingin berpetualang. Joseph selalu membuat saya melihat kehidupan ini dari sisi lain.

Richard Wong, 7 tahun, memiliki senyum paling manis. Saya suka melihat paduan menarik senyum dan matanya saat ia sedang senang. Richard butuh belajar mengendalikan dirinya. Dia butuh jadwal ketat yang mengajarkan tentang penurutan dan memahami keterbatasan. Richard senang berbagi dan menolong. Sikapnya yang tidak menyukai penolakan membuatnya tampak agresif pun disaat dia menawarkan bantuan. Karenanya saya menangis. Karenanya saya kehilangan akal. Karenanya saya hampir-hampir menyerah. Dan karenanya juga saya menemukan permata kepada nilai ingin diterima dan dianggap.

Richard rindu untuk diakui. Dia ingin menyatakan bahwa saya bisa jadi baik jika kamu menginginkannya. Ricard butuh stimulan. Richard butuh motivasi. Richard butuh penerimaan. Saya berharap saya masih memiliki waktu untuk memberikannya semua itu.

Muhammad Rhein Rifky, 7 tahun, memiliki kemampuan analisa yang sangat baik. Dia cerdas dan mudah menyerap semua informasi yang disuguhkan padanya. Dan keunggulan itu terkadang tertutup oleh kecenderungannya untuk tidak bisa diam. Rhein sedang pembelajar kinestetik. Ketika sang pendidik (baca : pengajar) tidak memahami ini, Rhein akan tampak seperti anak yang susah diatur. Dia selalu bergerak, selalu menemukan alasan untuk pelanggarannya, dan selalu mengomentari segala sesuatu. Jika awalnya saya merasa itu mengganggu, saya kemudian sampai pada kesimpulan bahwa itu adalah bentuk aktualisasi dirinya. Kesadaran itu membuat saya 'menikmati' waktu-waktu bersama Rhein.

Rhein punya rasa peduli yang tinggi. Dia selalu datang dengan ide-ide sosial yang tajam. Mulanya memang ide itu datang dari guru, tapi dia satu-satunya murid saya yang mampu merekam konsep saya dan mengeluarkannya sebagai kesimpulan. Saya bangga padanya. Saya tidak sabar melihat Rhein tumbuh remaja dan dewasa. Mudah-mudahan dia akan mengingat saya, seperti saya mengingatnya.

Frederik, 7 tahun, sangat tertarik dengan buku. Dia memilki rentang konsentrasi yang pendek, khususnya ketika sajian pembelajaran untuknya tidak menarik. Frederik masih seperti buku yang tertutup bagi saya. Dia belum mengizinkan saya membacanya tapi dia sudah membukakan halaman depan dan terakhir untuk saya. Frederik menyukai aktivitas fisik, membagikan segala sesuatu yang dianggapnya menarik, dan menolak setiap bentuk disiplin jika ia tidak memahaminya. Dilahirkan kembar membuat Frederik selalu bersentuhan dengan permasalahan 'diperlakukan sama' dan 'diperlakukan berbeda'. Frederik gampang bergaul dan tidak menikmati pembelajaran dalam ruangan untuk waktu yang lama. Tingkat kemandirian yang masih perlu diasah membuatnya seperti tidak bisa dikendalikan. Namun sebenarnya Frederik mampu melibatkan dirinya dalam perjanjian-perjanjian ketika perjanjian-perjanjian itu dilihatnya seperti permainan.

Joseph, Richard, Rhein, dan Frederik adalah nilai-nilai saya. Nilai-nilai itu membantu menjadi kaki dari meja 'belief' saya. Ketika cinta ada diantara kami, saya yakin saya akan mengukir kenangan indah bersama jiwa-jiwa muda itu. Terima kasih Tuhan atas pengertian ini.

Senin, 16 Juni 2008

The Mission


Konser kecil bertajuk 'The Mission' itu sudah selesai. Menjelang pukul 8 malam, 15 Juni 2008, pagelaran seni The Young Ambassador, Euphonic Option, Mandarin dan English Club, serta beberapa siswa SD dan SMP pilihan sontak riuh rendah dilanda kegembiraan. Mereka telah berhasil memberikan kebahagian yang luar biasa kepada Daisy Princesa dan Titus Chen. Saya juga menarik nafas lega.

Berada diantara keceriaan jiwa-jiwa muda itu membuat saya bersemangat. Saya memang pada awalnya meletakan hati saya dalam segala persiapan pementasan 'The Mission'. Meskipun secara teknis sahabat-sahabat saya yang lain bekerja mati-matian. Diantara waktu-waktu yang sangat mendesak --antara menyelesaikan tugas-tugas rutin dan mengatur rencana masa depan-- saya berusaha sekuat tenaga memberikan sumbangsih, meskipun dalam segala keterbatasan saya.

Ya, konser kecil itu berjudul 'Misi'. Kata yang sangat berharga dalam hidup saya. Hari-hari belakangan menyelipkan satu peringatan agar saya memahami misi saya. Misi sebagai seorang ibu, istri, dan guru. Peran yang bisa saya lakukan hanya dengan pertolongan Tuhan, karena 3 status itu luar biasa sulit...sungguh.....

Rabu, 04 Juni 2008

Pancasila? Yang Ada Lima Itu Ya?


Setelah 4 tahun menjadi guru kelas 1 Sekolah Dasar, saya dapat menyimpulkan lagu wajib yang menduduki peringkat tertinggi untuk dipilih murid-murid saya saat ulangan musik adalah 'Garuda Pancasila'. Entah mengapa. Mungkin karena lagu itu singkat, bersemangat, dan gampang diingat oleh anak-anak. Meskipun beberapa menyanyikannya dengan 'out of tune', saya tetap menikmati cara menyanyi dan berekspresi jiwa-jiwa muda itu. Dan sayapun terkenang oleh masa kecil saya.

Seingat saya 'Garuda Pancasila' adalah lagu penghantar sajian TVRI (Televisi Republik Indonesia) dari berita Nasional ke satu acara hiburan sekitar jam 7.30-an malam. Karena acara setelah berita biasanya acara yang menarik, saya selalu sabar menunggu lagu itu selesai dikumandangkan. Itu menjadi saat yang patut dikenang karena momen seperti itu tidak lagi ditemukan dengan ramuan acara televisi swasta yang melulu menyajikan hiburan ringan (--atau malahan pembodohon). Setelah berpuluh tahun, 'Garuda Pancasila' meninggalkan kenangan menyenangkan bagi jiwa saya yang menemukan damainya di dunia pendidikan.

Lalu setelah 1 abad Kebangkitan Nasional, tibalah Bangsa Indonesia pada tanggal 1 Juni 2008. Hari lahir Pancasila. Sang Proklamator Ir. Soekarno melabelkan 'Pancasila' untuk lima dasar yang diusulkannya pada rapat BPUPKI (Badan Persiapan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) 63 tahun lalu. Masih segar dalam ingatan saya kata-kata guru PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) semasa SMP bahwa ide lima dasar itu sudah menjadi ilham bagi Mpu Prapanca dan Mpu Tantular zaman Majapahit dulu, dalam kitab Negara Kertagama dan Sutasoma. Sejarah memang mempesona saya. Betapa seharusnya bangsa ini kaya dengan orang-orang cerdas berbudaya tinggi jika masing-masing orang memiliki akses terhadap kesempatan menuju pendidikan.

Saya sempat tersenyum kecut saat, sajian program berdurasi pendek di Metro TV hari Minggu lalu yang bertanya kepada beberapa orang tentang Pancasila. Lima dasar yang sudah ditetapkan sebagai dasar negara oleh 'Our Founding Fathers' tidak mendapatkan tempat pemahaman layak bagi sebagian orang. Dan di akhir program ada seorang ibu yang ditanyakan apakah ia tahu tentang Pancasila. Dengan malas-malasan dan enggan ia menjawab, "Pancasila? Yang ada 5 itu ya?". ------Gedubrakkkkkkk.

Pancasila :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

(Terdapat pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Alinea 4)

Garuda Pancasila merupakan lambang negara Indonesia. Lambang ini dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno. Sedangkan Pancasila itu sendiri merupakan dasar filosofi negara Indonesia. Kata Pancasila terdiri dari dua kata dari bahasa Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas.

Sabtu, 24 Mei 2008

My Music

Saya Terpaksa Pamit

Saya menarik nafas panjang. Sulit menerima kenyataan bahwa ekspektasi saya tidak terpenuhi -padahal saya sudah sangat menyederhanakannya. Tapi seperti kata Sheila -sahabat saya yang seorang Psikolog, sulit untuk berkomunikasi sempurna saat kesenjangan cara berpikir tercipta antara dua manusia. Saya dan beberapa rekan lainnya tidak merasa superior atau berada di level tertinggi, keinginan kami sederhana saja yaitu : membuat tempat kami bercengkrama sehari-hari di saat-saat terakhir ini bereformasi menjadi tempat yang nyaman untuk mengaktualisasikan ide dan melakukan pelayanan kami pada pendidikan. Tapi apalah daya, kami justru masuk dalam partai oposisi yang seharusnya diberangus karena tidak punya etika dalam menyampaikan inspirasi dan aspirasi. Sayapun menangisi kekalahan saya.

Adalah suatu kelegaan saat saya merasa tempat saya berkarya selama ini menunjukkan tanda-tanda perubahan. Adalah suatu kebahagiaan saat beberapa sahabat mendegungkan komitmen untuk memulai sesuatu yang baru. Adalah suatu ikatan berbentuk kebersamaan saat hari baru dimulai dengan membicarakan ide-ide segar. Tapi adalah suatu kesedihan saya yang mendalam karena ternyata itu hanyalah angan-angan saya. Sempat saya merasa sejahtera saat melihat tunas perubahan akan muncul disaat saya akan mengeksekusi keputusan saya berjalan ke tempat lain. Namun kegamangan itu seketika menghampiri ketika saya disadarkan bahwa tidak semua orang mampu dan mau berpikir positif saat berada dalam situasi terburuk. Saya kok tiba-tiba merasa diposisikan sebagai orang yang mendorong rusa yang tersangkut masuk ke dalam jurang.

Ya...proses ini akan sangat berat. Makilah saya jika saya hengkang dari semuanya ini dengan segera. Bukan karena kemauan saya, namun karena waktu tidak berpihak kepada saya. Semoga teman-teman seperjuangan saya masih memiliki peluru untuk menghadang keapatisan dan singa yang mengaumkan ketidakpercayaan. Saya pamit. Dengan hati yang belum lega, saya terpaksa pamit.

Sabtu, 17 Mei 2008

Michael and His SoulMath

Michael Samuel Honges (ada nama tengah yang kurang agaknya --Adrian mungkin) dulunya adalah murid saya. Alumni Sekolah Menengah Pertama Makarios. Kami bertemu bukan sebagai guru dan murid awalnya. Bagi saya Mike hanyalah seorang anak remaja iseng yang seharusnya bisa manja karena dia anak tunggal. Saya bergaul akrab dengan mamanya dan aneh rasanya saat pertama kali berada di dalam kelas dan menjadi fasilitatornya berbahasa Inggris. Saya lebih suka dia menyebut saya 'kakak'. Setelah 2 tahun membiarkan dia memaknai kehadiran saya sebagai guru akhirnya saya mengultimatum dia untuk menyebut saya 'kakak' kembali.

Bukan. Bukan itu yang saya ingin bahas. Bukan sejarah seorang murid, tapi kekaguman saya pada apresiasinya terhadap yang saya sebut 'pencerahan'. Saya suka menulis, dan saya selalu memotivasi murid-murid saya untuk menulis. Sayangnya saya belum bisa profesional soal itu. Akhir-akhir ini saya sering berkunjung ke blognya www.michaelsamuel.blogspot.com, hanya sekedar memantau apa yang ada di benak lulusan terbaik angkatan pertama SMP Makarios ini. Dan dia membuat saya bangga dengan tulisan-tulisannya.

Apresiasi, pencarian makna hidup, dunia kehidupan dari benaknya yang masih hijau, dan perenungannya tentang beberapa hal membuat saya merasa bahwa ia sedang bergerak ke arah pencerahan.

Dia menulis tentang seseorang. Laki-laki yang kadang membingungkan saya dengan pendekatannya yang konvensional dan urakan. Pernah saya berada dalam kelasnya. Dan sepanjang waktu dia hanya mengerutu dan mengeluh tentang kelakuan murid-murid. Apa yang dirasakan oleh anak-anak itu saat selalu menobatkannya sebagai guru favorit? Apakah karena belasan toblerone yang dibagikan gratis? (seperti yang Mike tulis di blognya) Saya tidak bisa menerima prosesnya. Tapi impresi yang diberikan sosok ini luar biasa. Saya hanya bisa menebak. Mungkin karena dedikasinya yang tinggi dibalik ungkapan-ungkapannya yang kadang memerahkan telinga. Mungkin karena baginya murid-murid adalah cerminan pencapaian pribadinya. Mungkin karena hidupnya memang digariskan hanya untuk mengalokasi waktunya menjadi bagian dari ilmu dengan deretan angka. Mungkin karena ia senantiasa menemukan cinta sejatinya pada keberhasilan peserta didiknya. Dan semuanya itu menghasilkan 'output' yang sempurna. Saya yakin ada banyak benih kesan yang sama terhadapnya di luar sana. Bahkan itu berproses pada diri Regina*.

Saya ingin mengangkat topi untuknya hari ini. Aku kutipan yang indah untuk semua muridnya. "Seorang guru sejati adalah seorang yang membangun jembatan menuju masa depan yang yang lebih baik. Membiarkan setiap murid berjalan menyebranginya. Dan pada akhirnya, dia membiarkan dirinya runtuh."

Michael, he is your SoulMath....

Note :
* Regina --teman Michael di SMP Makarios, Class of 2006.


Rabu, 23 April 2008

It's a Break Time


Saya selalu percaya bahwa hidup adalah misi. Sebelumnya saya percaya bahwa hidup adalah untuk menghasilkan karya. Dan saat saya merasa dua keyakinan itu semakin berjalan beriringan, saya menjadi kuatir karena waktu-waktu saya sepertinya semakin singkat dan terbatas untuk menjalankan misi dan menghasilkan karya.
Saya telah memutuskan untuk mengakhiri karir saya sekarang demi suatu pembaharuan. Bukan terhadap profesi tetapi terhadap situasi yang saya rasa mulai konvensional dan tidak progresif. Ada satu kutipan yang mewejangkan saya untuk tidak mengharapkan lebih pada sesuatu yang baru (meskipun saya sangat ingin begitu) dan tidak menyesali sesuatu yang telah terjadi. Saya berharap penyesalan tidak akan ada saat kita yakin kebijaksanaan Tuhan telah menuntun kita untuk melakukan sesuatu. Dan jika ada yang salah dalam suatu keputusan, saya cenderung melihatnya sebagai ajakan Tuhan untuk membuat kita lebih berserah dan mendengar suaraNya. Mudah-mudahan saja dalam dua bulan ke depan saya akan sangat berterima kasih atas situasi yang diberikan kepada saya saat ini. Meskipun saat ini helaan nafas menemani saya untuk sekedar mengingatkan bahwa waktu-waktu di depan tidak akan berjalan dengan mudah.
Saya ingin memaknai waktu ini sebagai bentuk lain halte dalam perjalanan hidup saya. Untuk sejenak menundukkan kepala dan tegak lagi dengan satu kekuatan baru.
Dua bulan di depan. Hanya dua bulan. Dan biarlah Tuhan membentangkan kanvas perjalanan saya yang lain dalam menjalankan misi dan menghasilkan karya untuk mewartakan semua tindakan luar biasaNya dalam kehidupan saya.

Jumat, 11 April 2008

The Chonicle of Keyren




Fortis Angela bermakna malaikat yang kuat. Suatu waktu di sekitar Maret 2003 saya pernah membuat puisi dengan catatan kaki bertajuk 'The Chonicle of Keyren' http://maria-justasimplethought.blogspot.com/2007/08/kepada-keyren.html bercerita tentang wanita muda (yang saya sebut kesatria). Mengapa dia istimewa? Karena ia terlahir di tanggal yang sama dengan saya, kami memilki kampung halaman yang berdekatan dan di satu ruang dan waktu kami bersama-sama. Mengapa saya terusik untuk menulis tentangnya? Karena saat ini jiwa saya mengingat kenangannya. Sudah lima tahun berselang dari masa-masa itu dan dalam ruangan-ruangan waktu di antaranya peristiwa demi peristiwa menyatukan ataupun memisahkan.

Life is full of ups and downs --kebanyakan downs-nya barangkali. Tapi simaklah! Selalu ada pintu lain yang terbuka saat satu pintu tertutup dan selalu akan ada jendela yang terbuka saat semua pintu tertutup. Kehidupan akan menjadi semakin berat karena dunia ini bergerak ke arah kebinasaan. Tapi selama pengharapan akan kekekalan di dunia yang baru menjadi visi setiap orang, yakinlah penghiburan dan pertolongan sejati akan selalu datang tepat pada waktunya.

Saya sedang ingin mengapreasiasi kembali kenangan 'The Chonicle of Keyren' dan resensi pengarang yang saya buat hari ini membuat saya ingin memiliki kasih Tuhan yang kuat dalam kelemahan saya sebagai manusia.

Karunia Pengampunan


Mengampuni itu adalah sebuah karunia. Dan diperlukan sebuah kuasa untuk mengampuni diri sendiri. Saya tidak tahu apakah adayang setuju tapi dalam subjektivitas, saya merasakan lebih sulit mengampuni diri sendiri daripada orang lain. Aneh bukan?

Trauma karena kesalahan menimbulkan kerugian yang hakiki bagi orang lain dan kesalahan yang saya ciptakan untuk memenuhi keinginan sendiri itu membuat saya menghabiskan tahun-tahun terakhir dengan rasa resah. Secara tidak sadar saya berniat menghukum diri sendiri dengan tidak memaafkan kesalahan untuk membayar setimpal perbuatan saya. Secara tidak sadar saya membangun menara kesombongan untuk menjadikan perasaan itu berhala dalam hati saya.

Sampai pada satu kali saya ditegur dengan ungkapan bahwa mengampuni itu adalah sebuah karunia. Dan diperlukan suatu kuasa untuk mengampuni diri sendiri. Betapa sombongnya saya bila saya tetap merasa bersalah saat Sang Pembebas itu telah mengampuni saya dan betapa tidak tahu malunya saya saat menyimpan baik-baik trauma rasa sakit itu di saat dengan kasih Dia memberikan hidup baru kepada saya.

Jika dulu setiap 10 April saya selalu meyesali perbuatan yang membuat salah satu sahabat terbaik saya kecewa, tahun ini saya akan mencoba mengenangnya sebagai hari dimana saya memaknai sebuah pengampunan.

Happy belated Birthday Emilliana....

Senin, 17 Maret 2008

Sedang Apatis

Ingatkah engkau dengan ritual upacara bendera di hari Senin pagi? Saat sang saka merah putih dikibarkan diiringi dengan lagu Indonesia Raya? Mungkin engkau lupa karena rutinitas itu sudah berpuluh tahun berlalu. Tapi tidak bagi saya.

Pagi ini says tergesa ke sekolah karena yakin akan terlambat. Hari ini Senin 17 Maret 2008, saya seorang guru sekarang dan upacara bendera menjadi tradisi rutin sekolah-sekolah yang menyakini upacara bendera adalah bagian pembelajaran akan nasionalisme. Saya baru menyetujui saat saya tidak lagi menjadi peserta upacara namun diwajibkan berdiri 'berpanas ria' sebagai pembina upacara.

Tapi saya terlambat. Ide nasionalisme itu menjadi garing saat saya berdiri 'behind the bars' sebagai pesakitan bersama siswa-siswa lain yang terlambat. Tapi berada diantara mereka adalah bentuk lain idealisme saya. Saya tidak bangga menjadi terlambat dan tidak sedang berunjuk rasa. Saya bisa saja menyelinap di balik pagar dan bersembunyi menyibukkan diri atau mencari alasan masuk akal mengapa saya tidak mengikuti upacara. Tapi itu malahan membuat saya menjadi kerdil. Saya merasakan berada dalam humanisme melakukan kesalahan. Bukan untuk menjunjung tinggi ungkapan 'nobody is perfect' tapi untuk memaknai betapa mengerikannya menjadi apatis. Seharusnya saya malu karena terlambat. Seorang guru yang terlambat menjadi santapan kritikan topik 'guru seharusnya menjadi teladan'. Tapi saya tidak perduli. Dan ketidakpedulian itu mengerikan.

Saya selalu percaya bahwa berproses adalah yang terutama. Mudah-mudahan saya akan segera menyelesaikan permasalahan saya mengenai apatis ini.

Doing right by not doing wrong is not doing right, isn't it?

Rabu, 06 Februari 2008

Sebelum Epilog


Setelah perenungan sekian lama, saya memutuskan untuk melepaskan pekerjaan yang saya geluti selama ini. Bukan karena bosan, namun karena pencarian saya pada hakekat menjadi guru sejati seharusnya tidak berhenti di sini.

Sekolah tempat saya mengabdi selama ini telah memberi saya kesempatan untuk menemukan cinta saya. Cinta pada Rafael Ricky Gunawan yang mengajarkan saya betapa tidak nyamannya berada dalam keterbatasan kesulitan untuk mengekang diri. Betapa saya sangat bahagia setelah empat tahun berlalu, Ricky selalu datang menikmati kebersamaan kami saat Wednesday Chapel duduk bersama-sama. Kami pernah merasakan emosi yang kuat saat kami berusaha menempatkan hubungan guru dan murid dalam keselarasan. Betapa saya mencintai keinginannya untuk terus bercerita tentang hal-hal yang terjadi dalam hidupnya.

Sekolah ini juga memperkenalkan saya pada Joseph Adrian, seorang pra-remaja dengan berjuta kejutan dalam dunianya yang unik. Saya menemuinya setiap hari, berbicara tentang dimensi lain padanya. Tentang global warming, pecahan, adverb, sinetron candy dan mentari, spiderman, dylan, pacaran, delon, dan letto serta nidji. Usianya 11 tahun, tahun ini. Dan saya sudah mulai melihat keresahannya untuk tidak terlihat bersama-sama saya didekat teman-temannya. Saya bertanggung jawab atas setiap pembelajaran dan filter terhadap tutur katanya. Dan dilain pihak saya menyerap hampir semua gaya bicaranya. Saya merasa dia adalah buku paling menarik yang pernah saya baca.

Kemudian saya bertemu dengan Richard dan Muhammad Rhein Rifky. Dua tanggung jawab yang sedang saya nikmati. Mereka bertengkar hari ini. Dua-duanya menangis. Kadang saya menyesal sudah terlalu keras pada mereka, dan terharu saat setelah pertengkaran yang hebat mereka bergandengan tangan dan saling meminta maaf. Mereka dua cinta saya yang sedang tumbuh. Saya mengasihi dua tunas muda ini.

Juga Fredrick yang lugu dan butuh waktu untuk berada dalam keteraturan. Sifat egois khas anak-anaknya membuatnya sering menarik diri terhadap pembelajaran. Tapi cinta dan kesabaran selalu menjadi rahasia untuk menumbuhkan cinta saya. Saya sedang belajar memahaminya, memahami kecenderungannya untuk menolak bantuan dan pesimis terhadap usaha. Dunia Frederick segera akan menjadi dunia saya, dan kami yakin kami akan menemukan jalan bagi kesepakatan untuk menumbuhkan minatnya mencintai belajar.

Mereka semua menjadi kenangan terindah saya. Tapi keputusan meninggalkan sekolah bukanlah akhir dari rasa cinta saya terhadap pendidikan. Keinginan terbesar saya untuk menjadi guru yang menginspirasi membuat saya terus menjaga komitmen mereka untuk terus belajar, menjadi laki-laki kuat dengan kasih yang melimpah.

Saya akan segera berkemas-kemas. Dan membawa cerita saya yang masih tidak terselesaikan bersama Jesinta dan Cynthia Dewi, dua perempuan sangat muda yang membuat saya berpikir....

Selasa, 05 Februari 2008

Misi Soeharto


Sudah agak terlambat untuk mengomentari kematian Sang Jendral besar Soeharto yang wafat 27 Januari 2008 lalu. Banjir Jakarta menjadi berita yang belum dingin saat ini. Namun entah kenapa, seperti layaknya proses perenungan yang biasa terjadi sesaat setelah sesuatu selesai, saya mulai memikirkan hakekat peristiwa itu.

Soeharto hanya seorang biasa dengan kesempatan menjadi orang yang luar biasa. Siapa saya sebenarnya untuk mengenal beliau dengan dekat, namun kok kayaknya tidak ada perasaan benci yang meluap-luap seperti yang dirasakan orang-orang pada bapak yang katanya berhasil mendapatkan predikat sebagai Bapak Pembangunan (membangun menara korupsi?) itu. Padahal saya ada di sana saat mahasiswa-mahasiswa Yogya berduyun-duyun berjalan dari kampus-kampus menuju alun-alun untuk bertemu Sultan saat zaman yang namanya reformasi itu dan seorang yang setiap malam tidur bersama saya adalah salah seorang aktivis yang ikut menyerukan supaya Soeharto 'lengser keprabon'. Mungkin karena senyumnya itu. Hm...banyak yang tidak setuju sepertinya.

Saya bukanlah pengamat politik pun pengamat sosial budaya dan masyarakat. Saya hanya seorang yang sukanya mencoba mencari tahu mengapa seseorang berbuat sesuatu. Walaupun akhirnya saya merasa banyak orang sepertinya tidak pernah berusaha cukup keras untuk mencapai kesempurnaan hakikatnya. Soeharto mungkin salah satu diantaranya.

Saat membaca imel-imel kiriman teman tentang nostalgia zaman Soeharto, semua yang berbau orde baru, tvri beserta program-programnya, klompencapir, dll, saya kok ikut-ikutan kangen ya. Masa lalu itu rasanya kok indah. Padahal saat menjalaninya tidak bahagia. Hmm..mungkin itu jawabannya orang sering hidup di masa lalu.

Waktu ada yang kasih perbandingan pemakaman Soekarno dan Soeharto yang jauh banget bedanya saya sih tidak bisa kasih komentar apa-apa. Wong, masanya berbeda. Kalau mau dikritisi ya itulah politik. Semua bisa disyahkan. Saya males kalau bicara politik.

Intinya, seperti kematian-kematian lain, kematian (wafatnya) Sang Jendral ini berarti sama. Bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Dan jika sebelumnya saya meyakini, seyakin-yakinnya, bahwa hidup itu adalah misi, saya berharap dan semoga saja Pak Harto sudah menyelesaikan misinya.

(Bapak saya juga bernama Soeharto - tulisan ini saya persembahkan untuk beliau. Papa, saya sangat mencintaimu.)