Kamis, 24 Januari 2013

Banjir Dulu, Banjir Kini, Banjir Nanti

Ibu kota kebanjiran. Perlahan Jakarta mulai terapung. Kepanikan beranjak mendekat dan mengikat hati yang makin was-was. Trauma banjir Jakarta 6 tahun lalu masih membayang. Hujan yang turun beberapa hari terakhir menjadi awal sebuah kenyataan akan datangnya bencana alam.

 Minggu lalu adalah waktu dengan beragam perasaan melihat begitu parahnya akibat yang ditimbulkan bencana banjir. Saya sempat terpaku sejenak melihat air sudah menutupi jalan masuk ke Sekolah Springfield Permata Buana 2 pagi hari Rabu, 16 Januari 2013. Hujan yang berhenti sejak malam sebelumnya dan pagi hari yang cerah meniadakan prasangka akan genangan air yang begitu tinggi bagi pengendara motor seperti saya. Dengan tekad untuk bertemu Nathan dan murid-murid kesayangan saya yang lain, saya membulatkan tekad mengarungi genangan air itu. Jika banyak orang yang berhasil ke tujuan setelah melalui banjir yang sebenarnya, saya juga bisa tiba di parkiran Springfield PB2 dengan selamat. Tapi tentu saja saya harus mengorbankan sepatu dan celana panjang saya untuk bertemu dengan pekatnya air. Hari itu saya merasakan dinginnya udara kelas dengan bersendal jepit.

Air yang tidak kunjung surut dilain pihak menyurutkan harapan kami untuk tetap optimis. Jumlah murid yang minim dan hujan yang tidak kunjung reda mendorong dibuatnya suatu keputuskan. Hari itu murid-murid dipulangkan lebih awal. Teriakan keceriaan dari jiwa-jiwa polos yang belum bisa melihat efek terparah dari banjir Jakarta membuat saya tersenyum getir. Saya percaya di banyak sudut di Jakarta, banyak orang yang mulai menangis melihat tingginya air yang makin bertambah dan terus bertambah.

Hujan masih juga menghampiri dan menciptakan ketakutan membayangkan kami akan terjebak disatu sudut Jakarta, entah karena banjir itu sendiri atau kemacetan. Lelah sudah mulai terasa karena kepastian tiba di rumah dini hari menjadi jaminan. Pukul 04.00 tepat, kami mengantri di parkiran untuk segera pulang, saat itu saya menyadari bahwa hampir semua kami ada di sana dalam waktu bersamaan. Banjir ternyata menumbuhkan bentuk lain dari kebersamaan. Setelah mengucapkan pesan untuk berhati-hati kami mulai meninggalkan parkiran dan bersegera berjetski atau menjadi nahkoda sebuah 'cruise' dadakan.

Keesokan harinya Kamis, 17 Januari 2013 semua ketakutan akan banjir menjadi kenyataan.

Kabar segera menyebar bahwa air sudah naik membanjiri hampir di seluruh Jakarta. Jika di negara-negara lain kedalaman air banjir diukur dalam centimeter dan meter, di Jakarta kami mengukurnya dengan semata kaki, sebetis, sedengkul, sepaha, sepinggang, dan sedada orang dewasa. Hujan yang turun dari malam sebelumnya dan berkesinambungan dengan intensitas yang sama membuat kami dan murid-murid harus tinggal dirumah. Beberapa dari kami mengungsi atau bertahan dalam rumah dengan cadangan makan minim tanpa air bersih dan listrik. Banjir Jakarta menjadi mimpi buruk dalam realita bagi hampir semua masyarakat untuk beberapa hari kedepan. Status Jakarta siaga dan akhirnya darurat segera dikumandangkan dan mengawali sebuah proses kemanusiaan untuk menyelamatkan korban-korban banjir di daerah-daerah terparah.

Miris perasaan saya ketika melihat korban jiwa mulai jatuh. Catatan kelam banjir Jakarta sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda, semasa Jakarta masih disebut Batavia. Sepanjang sejarah banjir Jakarta terdapat catatan bahwa daerah kota tua tidak mengalami banjir yang terlalu parah. Setidaknya itu membuktikan bahwa drainase yang dibuat Belanda lebih baik. Banjir Jakarta disatu sisi dianggap sebagai hal yang biasa. Namun mengingat kerusakan yang diakibatkan banjir dan korban jiwa yang ditimbulkan, pemerintah beserta masyarakat Jakarta harus benar-benar menyingsingkan lengan untuk berbenah.

Akibat banjir Jakarta sepertinya tidak terlalu dirasakan sebagian besar murid-murid saya. Air tidak masuk ke dalam rumah dan jika masukpun kerugian materi masih dapat teratasi. Keluhan yang muncul justru karena kebosanan karena tidak bisa menggunakan peralatan eketronik atau pergi ke tempat yang disukai karena putusnya akses menuju pusat-pusat ekonomi. Kami patut bersyukur atas diluputkan dari bahaya banjir tanpa mengurangi rasa empati dan belasungkawa pada masyarakat yang menjadi korban.

Saya mengingatkan murid-murid saya untuk membuat sebuah komitmen yang nyata.Tindakan yang berpengaruh pada masa depan harus segera diambil. Mungkin akan sulit bagi saya untuk membuat anak-anak murid saya memahami pedihnya rasa kehilangan orang yang dikasihi dan juga tempat tinggal satu-satunya saat kehangatan rumah dan keluarga masih bisa mereka rasakan saat banjir melanda. Mungkin akan sulit bagi saya membuat mereka mengerti betapa banjir bahkan bisa mengubah kehidupan seseorang. Yang bisa saya lakukan adalah memperkenalkan mereka pada kesadaran menjaga lingkungan. Sampah yang awalnya adalah hal sepele harus diperlakukan sebaik-baiknya untuk tidak menjadi limbah yang memperparah kerusakan alam. Alam ini adalah pinjaman dari generasi mendatang. Dunia akan semakin buruk di masa-masa yang akan datang karena manusia lalai menjadi bijak dan tidak memahami bagaimana alam bekerja. Catatan kelam banjir Jakarta harus menjadi pijakan untuk satu perubahan. Jika tahun ini kita masih bisa bersyukur diluputkan dari banjir, siapa yang bisa menjamin hal yang sama akan terjadi di tahun-tahun ke depan. Jika tahun ini kita belum memberikan banyak kontribusi dalam membantu para korban banjir, biarlah diwaktu yang akan datang kita yang akan bergerak menciptakan kesempatan itu.

Saat Miss Anita berdoa memulai Assembly kami Jumat, 25 Januari 2013, saya yakin jiwa-jiwa muda yang menjadi murid-murid Springfield akan dimampukan menjadi agen perubahan di masa mereka kelak. Hari ini harusnya menjadi momen untuk berbuat lebih banyak bagi Jakarta yang lebih baik, bagi kehidupan yang lebih bermanfaat bagi sesama.

Jakarta, Jumat 25 Januari 2013