Rabu, 07 September 2011

Ayah Saya (Masih) Hidup

Ayah saya sudah mati. Saya mengingat 17 Maret 2011 saat saya memandang tak berkedip luruhan tanah merah yang menimpa peti dimana ayah saya dibaringkan. Suara itu seperti palu yang dihantamkan di kepala saya. Saya mengaktifkan - mute mode- dalam otak dan mengirimkan pesan ke seluruh nadi untuk tidak merespon kenyataan ini sebagai satu peristiwa. Saya menjadi mutan oleh rasa sakit yang keterlaluan. Di bawah sana berbaring seorang laki-laki keras kepala, yang menghabiskan hidupnya untuk satu hal yang disebutnya romantika berbalut kebenaran absolut yang hanya berlaku bagi dia dan dunianya.

Ayah saya sudah mati. Tapi kehidupannya menghidupkan kemampuan saya untuk mencintai. Mencintai setiap tetes darah yang mengalir menjadi bagian inspirasi. Mencintai setiap wejangan yang sempat membosankan namun kemudian menjadi ide. Mencintai setiap kemunafikan yang bertransformasi menjadi bentuk pertahanan diri. Mencintai tutur kata yang akhirnya saya sadari adalah wujud dari pencariannya yang tidak selesai terhadap hakekat kehidupan. Mencintai sikap diam dan memberikan saya waktu tersendiri untuk berpikir atas kesalahan-kesalahan yang saya buat, mulai dari mengunting koran baru yang belum dibaca, menghilangkan tas kamera, mengeluarkan mobil baru belum lunas dari garasi, memberontak terhadap pilihan-pilihan terbaiknya, menyalahartikan pemahamannya akan belas kasih menjadi sebentuk benci yang tidak dimengerti, dan mempersalahkannya kekakuan yang dia ciptakan untuk melindungi kami dari rasa sakit karena kekhilafannya di masa lalu.Mencintai roh dan jiwanya yang ada dalam aliran darah saya.

Ayah saya sudah mati. Banyak yang mengutuk hari-hari dimana dia hidup mengurung diri seraya mencemooh cara orang lain menjalani hal yang dipercayai. Seperti dua alter yang berebutan menjadi dominan, dia terlihat bagai malaikat dan kenistaan dengan hunusan pedang di saat bersamaan. Dia menuliskan bahwa hari-harinya adalah jahat. Hari-hari kelabu dan abu-abu yang dihabiskannya di antara pohon-pohon karet dan suara aliran sungai di kejauhan. Hari-hari yang kemudian di sebutnya sebagai berkat, karena memperkenalkannya pada kesendirian. Rasa sepi yang mampu menjawab detil tanya saat pergantian hari datang. Membuatnya menciptakan risalah bahwa meski itu adalah sisa-sisa waktu di hidupnya, itu bukanlah akhir dari episode. Di pondok di sudut Karang Endah, dengan dengungan nyamuk dan sumur yang tersamar, ayah saya membunuh semua jumawa dan pangkat. Ia menulis, "...aku terlalu lemah...doaku tak bersuara lagi...". Saya mengira, mulai saat itu ia berbicara dengan hati. Berbicara kepada Tuhannya, juga kepada Tuhan mereka; dan mengakui keesaan Sang Pemberi hidup itu. Lalu terkenanglah saya pada ceritanya berkelana masuk pura, wihara, masjid, dan gereja untuk berlabuh pada cinta universal -cinta yang diajarkannya pada saya; meski tak banyak yang sempat melihatnya. Saya merenovasi ingatan untuk melahirkan satu konsep dalam berdoa, sebentuk doa yang selalu dimulainya dengan, "Maha besar Allah Bapa yang bertahta dalam kerajaan surga..."

Ayah saya sudah mati. Berakhir sudah napas tilas menyusuri pepohonan wangi anggrek hutan, berjalan di bawah pohon kupang berbiji merah saga, berbicara semalaman tentang kebun jeruk, bangun pagi-pagi buta untuk menyantap bubur ayam, atau duduk menghabiskan mie pangsit, martabak har, dan pempek serta kerupuk beraroma khas, atau memandang cakrawala di batas aliran sungai Musi mengenang masa kecil kami, dan pulas dalam dekapannya saat tubuh kecil kami tertidur di depan tivi yang menyala, setelah dunia dalam berita. Berakhir sudah kisah tentang pungguk yang merindukan bulan sebagai dongeng penghantar tidur. Berakhir juga impiannya mengendong surya di horizon saat perjalanan tidak bertujuan yang membawa kami untuk sekedar menikmati aspal hitam pekat di jalan-jalan berpagar kelapa sawit dan anak-anak sungai dengan latar belakang gunung di kejauhan, -dengan kicauan burung gereja dan buruk pelatuk. Jika hidup adalah petualangan, ayah saya menjadi buku petunjuk yang sangat mengasikkan. Benak saya masih mencatat petualangan kami berburu anggur hutan, buah semak karamunting, dan nanas 'tak bertuan di jalur berdebu jalan Nigata. Dan akhirnya menyisakan keharuan yang mendalam mengingat sekantung buah para untuk 'pedekan' dan pengalaman 'nakok' dari sadapan getah karet yang bau. Debu-debu yang naik membumbung di belakang mobil Datsun tua coklat susu itu menyuarakan tawa masa kecil kami dan naik ke udara untuk memeluk indah saat-saat ayah pulang membawa coklat silverqueen bertumpuk dua sambil bercerita tentang bunga sutra bombay yang menyala terang di halaman Jalan Pramuka.

Ayah saya sudah mati. Sekuat apapun keinginan saya melihatnya hidup, dia sudah mati. Rasa sakit itu masih tetap keterlaluan mencabik-cabik jiwa saya. Saya tetap ingin menjadi mutan dan berdiam. Saya sudah tidak bertanya lagi dan tidak merencanakan kebodohan membodohkan jiwa. Saya tahu tentang menunggu. Penantian yang harus saya lakoni diantara masa yang terus membiru. Waktu tanpa batas yang tidak saya kehendaki untuk segera terjadi. Waktu menunggu tulang-tulang putih itu bersatu lagi untuk bangkit bertemu dengan jiwa. Tugas belum paripurna. Karya saya belum tercipta. Cinta saya belum utuh. Pengabdian saya baru dimulai. Rencana saya nyaris tersusun. Langkah saya masih setengah menggantung. Keinginan saya sementara hanya wacana. Rindu saya belum terpuaskan. Jalan saya dirasa masih panjang. Visi saya masih buram. Target saya belum tercapai. Dan saya masih tertidur dalam keengganan. Hanya ayah saya yang mampu menghardik saya dengan kecaman dan pecutan bernama cinta. Untuk itu ayah saya (masih) harus hidup...


Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Filipi 1:21

Jakarta, 8 September 2011 -- menjelang ulang tahun kekasih ayah saya, Ibu Sumarhami