Kamis, 18 Februari 2010

Berseri-seri Karena Seri

Adalah Serijati Suryanto yang tiba-tiba muncul di benak saya. Ketika waktu-waktu ini menjadi berat karena resah akan ayah yang terbaring lemah akibat serangan stroke dan ingatan buruk tentang kecelakan yang baru menimpa saat anak ketiga saya hampir hadir dalam hitungan waktu 2 minggu kedepan. Dia wanita sederhana saja. Namanyapun menyiratkan seorang perempuan biasa yang nyaris tanpa kejutan. Tuturnya berkali bahwa namanya lekat dengan impresi seorang perempuan kampung yang mungkin berkerudung dan datang dari daerah pesisir Jawa dengan harapan tinggi akan ibukota. Persis seperti tema cerita film Indonesia era 70-an. Tapi sontak impresi itu hilang saat ia datang dengan kerutan di dahinya. Ia wanita Indonesia keturunan Tionghoa bermuka sangat oriental, berdialek Betawi, memiliki aksen Inggris yang khas dan lebih pandai berbahasa Jerman dibandingkan Bahasa Indonesia dengan struktur EYD yang layak diterima di dunia edukasi.

Adalah Serijati Suryanto yang tiba-tiba muncul di benak saya ketika hari-hari menjadi sejarah saya dalam sekolah di bilangan Villa Meruya. Mungkin karena reputasinya mengalahkan imej yang ia ingin berikan kepada semua orang. Entah kenapa saya seperti menemukan benang merah keberadaan saya di tempat yang baru saat berbicara dengannya. Saya seperti memiliki kewajiban untuk mengenalnya, menjadi bagian hidupnya dan mengasihinya seperti seorang sahabat karib dan saudari dalam Tuhan.

Adalah Serijati Suryanto yang tiba-tiba muncul di benak saya ketika saya belajar sesuatu tentang kerendahan hati dan pengampunan. Kami mengenalnya sebagai pribadi yang keras, -kata yang sedikit lebih lunak dibandingkan istilah ‘galak’. Saya tidak ingin menghakiminya tetapi pemahaman saya akan jalan hidupnya membuat saya seperti menemukan potret akan Seri kecil dan remaja. Kemandiriannya tertanam lebih dini dibanding kami semua membuat Seri bermetamorfosis menjadi seseorang yang independen dengan pencarian manual terhadap jati diri dan hakikat hidupnya. Disatu sisi saya merasa dia mengalami saat-saat berat menjadi yatim dan piatu saat proses pencarian akan pengenalan hidup masih dalam sangat awal, namun di sisi yang lain dengan dimensi yang lebih luas keadaan itu mentransformasi semua ketakutannya menjadi keteguhan hati dan keinginan untuk bertahan meskipun jiwanya kadang luluh lantak oleh kekecewaan. Dalam galau yang mungkin tidak sengaja diciptakan, ia memberikan tangannya untuk kesalahan atau kesalahkaprahan yang terjadi dan melupakan begitu saja dalam selaksa waktu yang sedemikan singkat tentang sakit hati. Lebih jauh lagi dalam patriotnya dia memberikan hatinya untuk kesempatan bagi setiap hal yang bergerak menuju perubahan.

Adalah Serijati Suryanto yang tiba-tiba muncul di benak saya ketika saya teringat tentang warna indah pelangi persahabatan. Dia dengan ringan memberikan waktu bagi setiap tanda kasih bagi sahabat ketika saya sibuk mencuri waktu kerja untuk kepentingan pribadi. Tanpa pamrih dan embel-embel balas jasa ia mencoba memberikan perhatian bagi keluh kesah dan juga ketidakpuasan yang kadang tercipta saat ketidakadilan menjadi bagian hidup yang tidak bisa saya tolak.


Adalah Serijati Suryanto yang tiba-tiba muncul dibenak saja untuk menjadi parameter sikap bertahan dalam kawah candradimuka yang menempa emas menjadi murni. Dia spontan, ekspresif, tanpa tedeng aling-aling, kurang memiliki filter meskipun punya visi ke depan, cekatan (dan mungkin kecepatan bicaranya lebih dibanding kecepatannya berpikir he…he..) namun diatas semuanya itu dia adalah pribadi yang mengagumkan dan memilikinya sebagai sahabat membuat saya memaknai hari-hari saya dengan nilai-nilai berharga.

Adalah Serijati Suryanto yang tiba-tiba muncul dalam benak saya saat dihadapkan pada setumpuk kewajiban yang harus di penuhi. Waktu saya semakin singkat untuk menyelesaikan tugas-tugas tapi biarkan keberadaan Seri menjadi semangat saya untuk berseri-seri.

Jakarta, 17 Pebruari 2010