Sabtu, 24 Mei 2008

My Music

Saya Terpaksa Pamit

Saya menarik nafas panjang. Sulit menerima kenyataan bahwa ekspektasi saya tidak terpenuhi -padahal saya sudah sangat menyederhanakannya. Tapi seperti kata Sheila -sahabat saya yang seorang Psikolog, sulit untuk berkomunikasi sempurna saat kesenjangan cara berpikir tercipta antara dua manusia. Saya dan beberapa rekan lainnya tidak merasa superior atau berada di level tertinggi, keinginan kami sederhana saja yaitu : membuat tempat kami bercengkrama sehari-hari di saat-saat terakhir ini bereformasi menjadi tempat yang nyaman untuk mengaktualisasikan ide dan melakukan pelayanan kami pada pendidikan. Tapi apalah daya, kami justru masuk dalam partai oposisi yang seharusnya diberangus karena tidak punya etika dalam menyampaikan inspirasi dan aspirasi. Sayapun menangisi kekalahan saya.

Adalah suatu kelegaan saat saya merasa tempat saya berkarya selama ini menunjukkan tanda-tanda perubahan. Adalah suatu kebahagiaan saat beberapa sahabat mendegungkan komitmen untuk memulai sesuatu yang baru. Adalah suatu ikatan berbentuk kebersamaan saat hari baru dimulai dengan membicarakan ide-ide segar. Tapi adalah suatu kesedihan saya yang mendalam karena ternyata itu hanyalah angan-angan saya. Sempat saya merasa sejahtera saat melihat tunas perubahan akan muncul disaat saya akan mengeksekusi keputusan saya berjalan ke tempat lain. Namun kegamangan itu seketika menghampiri ketika saya disadarkan bahwa tidak semua orang mampu dan mau berpikir positif saat berada dalam situasi terburuk. Saya kok tiba-tiba merasa diposisikan sebagai orang yang mendorong rusa yang tersangkut masuk ke dalam jurang.

Ya...proses ini akan sangat berat. Makilah saya jika saya hengkang dari semuanya ini dengan segera. Bukan karena kemauan saya, namun karena waktu tidak berpihak kepada saya. Semoga teman-teman seperjuangan saya masih memiliki peluru untuk menghadang keapatisan dan singa yang mengaumkan ketidakpercayaan. Saya pamit. Dengan hati yang belum lega, saya terpaksa pamit.

Sabtu, 17 Mei 2008

Michael and His SoulMath

Michael Samuel Honges (ada nama tengah yang kurang agaknya --Adrian mungkin) dulunya adalah murid saya. Alumni Sekolah Menengah Pertama Makarios. Kami bertemu bukan sebagai guru dan murid awalnya. Bagi saya Mike hanyalah seorang anak remaja iseng yang seharusnya bisa manja karena dia anak tunggal. Saya bergaul akrab dengan mamanya dan aneh rasanya saat pertama kali berada di dalam kelas dan menjadi fasilitatornya berbahasa Inggris. Saya lebih suka dia menyebut saya 'kakak'. Setelah 2 tahun membiarkan dia memaknai kehadiran saya sebagai guru akhirnya saya mengultimatum dia untuk menyebut saya 'kakak' kembali.

Bukan. Bukan itu yang saya ingin bahas. Bukan sejarah seorang murid, tapi kekaguman saya pada apresiasinya terhadap yang saya sebut 'pencerahan'. Saya suka menulis, dan saya selalu memotivasi murid-murid saya untuk menulis. Sayangnya saya belum bisa profesional soal itu. Akhir-akhir ini saya sering berkunjung ke blognya www.michaelsamuel.blogspot.com, hanya sekedar memantau apa yang ada di benak lulusan terbaik angkatan pertama SMP Makarios ini. Dan dia membuat saya bangga dengan tulisan-tulisannya.

Apresiasi, pencarian makna hidup, dunia kehidupan dari benaknya yang masih hijau, dan perenungannya tentang beberapa hal membuat saya merasa bahwa ia sedang bergerak ke arah pencerahan.

Dia menulis tentang seseorang. Laki-laki yang kadang membingungkan saya dengan pendekatannya yang konvensional dan urakan. Pernah saya berada dalam kelasnya. Dan sepanjang waktu dia hanya mengerutu dan mengeluh tentang kelakuan murid-murid. Apa yang dirasakan oleh anak-anak itu saat selalu menobatkannya sebagai guru favorit? Apakah karena belasan toblerone yang dibagikan gratis? (seperti yang Mike tulis di blognya) Saya tidak bisa menerima prosesnya. Tapi impresi yang diberikan sosok ini luar biasa. Saya hanya bisa menebak. Mungkin karena dedikasinya yang tinggi dibalik ungkapan-ungkapannya yang kadang memerahkan telinga. Mungkin karena baginya murid-murid adalah cerminan pencapaian pribadinya. Mungkin karena hidupnya memang digariskan hanya untuk mengalokasi waktunya menjadi bagian dari ilmu dengan deretan angka. Mungkin karena ia senantiasa menemukan cinta sejatinya pada keberhasilan peserta didiknya. Dan semuanya itu menghasilkan 'output' yang sempurna. Saya yakin ada banyak benih kesan yang sama terhadapnya di luar sana. Bahkan itu berproses pada diri Regina*.

Saya ingin mengangkat topi untuknya hari ini. Aku kutipan yang indah untuk semua muridnya. "Seorang guru sejati adalah seorang yang membangun jembatan menuju masa depan yang yang lebih baik. Membiarkan setiap murid berjalan menyebranginya. Dan pada akhirnya, dia membiarkan dirinya runtuh."

Michael, he is your SoulMath....

Note :
* Regina --teman Michael di SMP Makarios, Class of 2006.