Rabu, 06 Februari 2008

Sebelum Epilog


Setelah perenungan sekian lama, saya memutuskan untuk melepaskan pekerjaan yang saya geluti selama ini. Bukan karena bosan, namun karena pencarian saya pada hakekat menjadi guru sejati seharusnya tidak berhenti di sini.

Sekolah tempat saya mengabdi selama ini telah memberi saya kesempatan untuk menemukan cinta saya. Cinta pada Rafael Ricky Gunawan yang mengajarkan saya betapa tidak nyamannya berada dalam keterbatasan kesulitan untuk mengekang diri. Betapa saya sangat bahagia setelah empat tahun berlalu, Ricky selalu datang menikmati kebersamaan kami saat Wednesday Chapel duduk bersama-sama. Kami pernah merasakan emosi yang kuat saat kami berusaha menempatkan hubungan guru dan murid dalam keselarasan. Betapa saya mencintai keinginannya untuk terus bercerita tentang hal-hal yang terjadi dalam hidupnya.

Sekolah ini juga memperkenalkan saya pada Joseph Adrian, seorang pra-remaja dengan berjuta kejutan dalam dunianya yang unik. Saya menemuinya setiap hari, berbicara tentang dimensi lain padanya. Tentang global warming, pecahan, adverb, sinetron candy dan mentari, spiderman, dylan, pacaran, delon, dan letto serta nidji. Usianya 11 tahun, tahun ini. Dan saya sudah mulai melihat keresahannya untuk tidak terlihat bersama-sama saya didekat teman-temannya. Saya bertanggung jawab atas setiap pembelajaran dan filter terhadap tutur katanya. Dan dilain pihak saya menyerap hampir semua gaya bicaranya. Saya merasa dia adalah buku paling menarik yang pernah saya baca.

Kemudian saya bertemu dengan Richard dan Muhammad Rhein Rifky. Dua tanggung jawab yang sedang saya nikmati. Mereka bertengkar hari ini. Dua-duanya menangis. Kadang saya menyesal sudah terlalu keras pada mereka, dan terharu saat setelah pertengkaran yang hebat mereka bergandengan tangan dan saling meminta maaf. Mereka dua cinta saya yang sedang tumbuh. Saya mengasihi dua tunas muda ini.

Juga Fredrick yang lugu dan butuh waktu untuk berada dalam keteraturan. Sifat egois khas anak-anaknya membuatnya sering menarik diri terhadap pembelajaran. Tapi cinta dan kesabaran selalu menjadi rahasia untuk menumbuhkan cinta saya. Saya sedang belajar memahaminya, memahami kecenderungannya untuk menolak bantuan dan pesimis terhadap usaha. Dunia Frederick segera akan menjadi dunia saya, dan kami yakin kami akan menemukan jalan bagi kesepakatan untuk menumbuhkan minatnya mencintai belajar.

Mereka semua menjadi kenangan terindah saya. Tapi keputusan meninggalkan sekolah bukanlah akhir dari rasa cinta saya terhadap pendidikan. Keinginan terbesar saya untuk menjadi guru yang menginspirasi membuat saya terus menjaga komitmen mereka untuk terus belajar, menjadi laki-laki kuat dengan kasih yang melimpah.

Saya akan segera berkemas-kemas. Dan membawa cerita saya yang masih tidak terselesaikan bersama Jesinta dan Cynthia Dewi, dua perempuan sangat muda yang membuat saya berpikir....

Selasa, 05 Februari 2008

Misi Soeharto


Sudah agak terlambat untuk mengomentari kematian Sang Jendral besar Soeharto yang wafat 27 Januari 2008 lalu. Banjir Jakarta menjadi berita yang belum dingin saat ini. Namun entah kenapa, seperti layaknya proses perenungan yang biasa terjadi sesaat setelah sesuatu selesai, saya mulai memikirkan hakekat peristiwa itu.

Soeharto hanya seorang biasa dengan kesempatan menjadi orang yang luar biasa. Siapa saya sebenarnya untuk mengenal beliau dengan dekat, namun kok kayaknya tidak ada perasaan benci yang meluap-luap seperti yang dirasakan orang-orang pada bapak yang katanya berhasil mendapatkan predikat sebagai Bapak Pembangunan (membangun menara korupsi?) itu. Padahal saya ada di sana saat mahasiswa-mahasiswa Yogya berduyun-duyun berjalan dari kampus-kampus menuju alun-alun untuk bertemu Sultan saat zaman yang namanya reformasi itu dan seorang yang setiap malam tidur bersama saya adalah salah seorang aktivis yang ikut menyerukan supaya Soeharto 'lengser keprabon'. Mungkin karena senyumnya itu. Hm...banyak yang tidak setuju sepertinya.

Saya bukanlah pengamat politik pun pengamat sosial budaya dan masyarakat. Saya hanya seorang yang sukanya mencoba mencari tahu mengapa seseorang berbuat sesuatu. Walaupun akhirnya saya merasa banyak orang sepertinya tidak pernah berusaha cukup keras untuk mencapai kesempurnaan hakikatnya. Soeharto mungkin salah satu diantaranya.

Saat membaca imel-imel kiriman teman tentang nostalgia zaman Soeharto, semua yang berbau orde baru, tvri beserta program-programnya, klompencapir, dll, saya kok ikut-ikutan kangen ya. Masa lalu itu rasanya kok indah. Padahal saat menjalaninya tidak bahagia. Hmm..mungkin itu jawabannya orang sering hidup di masa lalu.

Waktu ada yang kasih perbandingan pemakaman Soekarno dan Soeharto yang jauh banget bedanya saya sih tidak bisa kasih komentar apa-apa. Wong, masanya berbeda. Kalau mau dikritisi ya itulah politik. Semua bisa disyahkan. Saya males kalau bicara politik.

Intinya, seperti kematian-kematian lain, kematian (wafatnya) Sang Jendral ini berarti sama. Bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Dan jika sebelumnya saya meyakini, seyakin-yakinnya, bahwa hidup itu adalah misi, saya berharap dan semoga saja Pak Harto sudah menyelesaikan misinya.

(Bapak saya juga bernama Soeharto - tulisan ini saya persembahkan untuk beliau. Papa, saya sangat mencintaimu.)