Selasa, 27 November 2007

Saya Seorang Yang Bodoh

Saya sering merasa jengkel akhir-akhir, sering gampang marah, dan mudah sekali terusik oleh hal-hal sepele, terprovokasi oleh kata-kata yang tidak penting. Mungkin karena beban kerja yang lumayan berat dan waktu yang pendek untuk diclosing akhir tahun ini. Tapi tiba-tiba saya merasa rugi dengan itu semua. Pekerjaan saya tertunda dan kualitas kinerja saya menurun. Waktu dan kesempatan sering saya habiskan dengan 'curhat' untuk melampiaskan kedongkolan saya pada hal-hal yang tidak berjalan sesuai kemauan saya. Hari belajar saya tentang kemarahan ini dimulai saat Alexander murid saya kelas tiga SD mengingatkan betapa bodohnya saya memberi perhatian dan menyediakan ruang di hati untuk memberi jalan bagi resah saya pada hal-hal yang tidak bisa saya ubah. Ya...saya belajar dari seorang anak 9 tahun. Dengan polosnya ia memberikan satu ayat dalam Amsal yang harus dihafalnya karena ia bertugas membawakan renungan pagi esok harinya. Siapa saya ini yang menilai diri saya terlalu tinggi sehingga harus dihargainya? Seberapa sempurnanya saya untuk menetapkan standar bagi orang lain? Apa yang sudah saya lakukan sampai-sampai saya menuntut orang lain memberikan yang terbaik? Setulus apa motif saya sehingga saya merasa orang paling suci? Apakah saya sedemikian berharganya sehingga orang lain harus dikorbankan demi mempertahankan eksistensi saya? Who do you think you are that everyone should pay closely attention toward your feelings?

Saya seharusnya terkubur dalam rasa malu saya yang sangat karena berani bersikap emosional dan memelihara kemarahan saya.

Amsal 20 : 3 Terhormatlah seseorang, jika ia menjauhi perbantahan, tetapi setiap orang bodoh membiarkan amarahnya meledak.

Tidak ada komentar: